OLEH: AGUSTO SULISTIO
SELAMA satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024), berbagai kasus dugaan korupsi dan kebocoran anggaran negara menjadi sorotan.
Skandal demi skandal di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Direktorat Jenderal Pajak, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menggerus keuangan negara, mengurangi efektivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta menurunkan kepercayaan investor asing terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana mengungkap dan menutup kebocoran anggaran yang telah terjadi, serta memastikan bahwa uang rakyat tidak lagi mengalir ke kantong para koruptor? Jawabannya, audit forensik independen.
BUMN, Dirjen Pajak, Bea Cukai Ladang Subur Korupsi
Kasus Jiwasraya pada 2018 menjadi pukulan telak bagi industri keuangan. Perusahaan asuransi pelat merah ini gagal membayar polis dengan total kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun. Penyelewengan investasi dan manipulasi laporan keuangan memperlihatkan betapa buruknya tata kelola di BUMN.
Kasus serupa terjadi pada PT Asabri (Persero) pada 2020. Korupsi dalam pengelolaan dana pensiun tentara dan polisi menyebabkan kerugian negara sekitar Rp22,78 triliun. Para mantan direksi perusahaan dan pihak swasta yang terlibat dalam skema manipulasi investasi akhirnya dijerat hukum, tetapi dampak ekonomi yang ditimbulkan tidak bisa diabaikan.
Pada 2021, publik dikejutkan dengan skandal suap pajak yang menyeret pejabat eselon II di Ditjen Pajak. Mereka diduga menerima suap untuk mengurangi nilai pajak sejumlah perusahaan, menyebabkan negara kehilangan Rp1,7 triliun, betapa rentannya institusi pengumpul pajak terhadap penyalahgunaan wewenang.
Bea dan Cukai seharusnya menjadi benteng negara dalam mengawasi arus barang keluar dan masuk Indonesia. Namun, kasus penyelundupan tekstil senilai Rp1,6 triliun melalui Batam pada 2020 membuktikan bahwa oknum di dalamnya justru menjadi bagian dari masalah.
Penyalahgunaan kebijakan impor, kolusi dengan pengusaha, serta lemahnya pengawasan internal membuat kerugian negara terus berlanjut.
Dampak Langsung terhadap APBN dan Investasi
Korupsi di sektor-sektor strategis ini tidak hanya mengurangi pemasukan negara tetapi juga menambah beban APBN. Setiap rupiah yang dikorupsi harus ditutupi dengan utang atau pengurangan anggaran untuk program kesejahteraan rakyat.
Selain itu, maraknya korupsi membuat investor asing berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi dan kepastian hukum menjadi faktor kunci dalam arus Foreign Direct Investment (FDI). Sayangnya, skandal demi skandal telah membuat Indonesia kurang menarik di mata investor.
Audit Forensik Solusi untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Untuk memastikan kebocoran anggaran ini dapat diungkap secara transparan dan tuntas, audit forensik independen menjadi langkah mutlak yang harus dilakukan.
Mengidentifikasi aliran dana ilegal, melacak bagaimana dana negara diarahkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Mengungkap jaringan korupsi, memastikan siapa saja yang terlibat dalam skema korupsi, baik di dalam pemerintahan maupun di sektor swasta.
Mengembalikan kerugian negara, memanfaatkan kembali anggaran yang telah dikorupsi untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan rakyat.
Dugaan Penyelewengan Dana Proyek Strategis Nasional (PSN) Rp500 Triliun
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan bahwa sekitar 36,67 persen dana PSN diduga diselewengkan oleh oknum ASN dan politisi.
Jika total anggaran PSN mencapai Rp1500 triliun, maka sekitar Rp500 triliun berpotensi disalahgunakan. Sementara baru sebagian kecil yang diusut oleh KPK di PT PP (Tbk)
Angka ini bukan hanya mencerminkan besarnya uang yang hilang, tetapi juga menunjukkan betapa lemahnya pengawasan dalam proyek-proyek besar pemerintah. Jika dibiarkan, proyek infrastruktur yang seharusnya membawa manfaat bagi rakyat justru hanya menjadi ladang korupsi bagi segelintir elite.
Potensi Kerugian PT PLN dari Skema Independent Power Producer (IPP)
PLN menghadapi potential loss sekitar Rp1000 triliun, akibat skema kontrak Independent Power Producer (IPP). Dua faktor utama penyebab kerugian ini adalah overestimasi permintaan listrik, PLN terpaksa membayar listrik yang tidak terpakai akibat proyeksi kebutuhan energi yang meleset.
Klausul "Take or Pay" kontrak dengan IPP mengharuskan PLN membayar kapasitas listrik tertentu, meskipun listrik tersebut tidak digunakan. Jika skema ini tidak dievaluasi, maka PLN akan terus mengalami defisit keuangan, yang akhirnya harus ditanggung oleh rakyat melalui kenaikan tarif listrik atau subsidi yang semakin besar dari APBN.
Jangan Biarkan Korupsi Menghancurkan Bangsa
Audit forensik independen harus menjadi prioritas utama pemerintahan Prabowo. Tidak hanya untuk mengungkap kasus-kasus yang sudah terjadi, tetapi juga untuk mencegah praktik serupa di masa depan.
Jika dana yang selama ini dikorupsi bisa diselamatkan dan digunakan untuk kepentingan rakyat, maka Indonesia akan memiliki lebih banyak anggaran untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, serta memperbaiki kualitas pendidikan.
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, tetapi pengkhianatan terhadap masa depan bangsa. Saatnya Indonesia bergerak maju dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberanian untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
(Penulis adalah Pegiat Media Sosial dan Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)
Artikel Terkait
Sadis, 70 Umat Kristen Tewas Dipenggal di Gereja oleh Teroris Afiliasi ISIS di Republik Demokratik Kongo
Kepleset Lidah, SBY Tegaskan Jokowi Sudah Pensiun
Novel Baswedan Ungkap Dalang Revisi UU KPK: Hasto Kristiyanto Bongkar Fakta!
Banyak Yang Ragukan Danantara, Prabowo: Berhasil atau Tidak, Wajar!