Soal Gaduh Dugaan Pungli di SMPN 1 Subang, Pengacara Publik Sebut Ada Pasal Korupsi

- Senin, 08 Januari 2024 | 15:31 WIB
Soal Gaduh Dugaan Pungli di SMPN 1 Subang, Pengacara Publik Sebut Ada Pasal Korupsi

JAKARTA, polhukam.id - Kasus pungutan liar (Pungli) yang diduga terjadi di SMP Negeri 1 Subang, Jawa Barat, viral dan dikutip banyak media karena informasi dimana orang tua murid diminta membayar senilai Rp2,5 hingga Rp2,7 juta setiap tahunnya dengan dalih sumbangan kontribusi untuk pemajuan sekolah.

Ternyata, pada tahun 2022, petugas dari Satuan Tugas (Satgas) Saber Pungli Jawa Barat juga pernah menyelidiki kejadian tersebut namun hasil dan sanksi yang dijatuhkan tidak jelas atau tidak transparan.

Menanggapi dugaan pungli tersebut, Pengacara Publik Muhammad Mualimin berpendapat, apapun alasannya guru dan pegawai negeri di sekolah negeri tidak dapat dibenarkan membuat kebijakan yang minta uang kepada orang tua murid.

Baca Juga: Tak Hanya Jadi Guru, Inilah 8 Prospek Kerja Lulusan Sarjana Pendidikan

Sebab, jelas Advokat PERADI ini, pegawai negeri yang menerima uang, pemberian, dan/atau meminta sesuatu dari orang tua murid melanggar Pasal 11, 12b, dan 12e Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 65 KUH Pidana.

''Guru, pegawai negeri, sekolah negeri, dilarang meminta sesuatu dari murid atau orang tua murid. Itu masuk pasal korupsi dan pemerasan pejabat negara. Ancaman pidana penjaranya paling singkat 4 tahun, dan paling lama 20 tahun. Bayaran tambahan atas nama apapun itu disebut pungli dan harus dihentikan,'' kata Muhammad Mualimin kepada Ayosemarang, Senin (8/1/2024).

Selain pegawai negeri (guru PNS) yang tidak boleh meminta dan menerima, ucap Mualimin, orang tua murid juga dilarang memberikan sesuatu kepada pegawai negeri sebab hal itu melanggar Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor.

''Jadi dalam pidana korupsi, khususnya terkait gratifikasi dan suap, bukan hanya PNS yang kena, tapi juga pihak yang memberikan sesuatu (uang) juga kena. Itu disebut penyuap atau pemberi gratifikasi. Pendapat saya, pungutan liar yang bukan kewajiban resmi siswa sebaiknya dihentikan. Kalau sekolah butuh anggaran, ajukan dong ke Dinas Pendidikan, jangan minta orangtua murid,'' ujarnya.

Baca Juga: Bercita-Cita Jadi Politikus? Yuk Ketahui Materi yang Dipelajari di Jurusan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta

Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor berbunyi Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.

Sedangkan pada Pasal 11, Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Baca Juga: 5 Daerah Ini Punya Jembatan Terbanyak di Jawa Tengah, Ada yang Nyaris Tembus 500 Bangunan

Artikel ini telah lebih dulu tayang di: ayosemarang.com

Komentar