Fenomena Anak Bekerja di Balikpapan Imbas Pola Asuh Keliru, Jualan Tisu Bantu Ekonomi Keluarga

- Senin, 29 Mei 2023 | 05:36 WIB
Fenomena Anak Bekerja di Balikpapan Imbas Pola Asuh Keliru, Jualan Tisu Bantu Ekonomi Keluarga

TRIBUNKALTARA.COM, BALIKPAPAN � Sejumlah persoalan sosial kota, seperti fenomena anak bekerja merupakan imbas pola asuh keliru. Di Balikpapan, bocah dipaksa jualan tisu bantu ekonomi keluarga.

Hari masih cerah meski memasuki sore pada Sabtu (27/5/2023).

Hiruk-pikuk kendaraan memadati Jalan MT Haryono, Kelurahan Damai, Kecamatan Balikpapan Selatan, Balikpapan.

Dari kejauhan, tampak Adriansyah (8), bukan nama sebenarnya, asyik bermain dengan teman seusianya.

Berlarian lincah di tepi jalan, tak peduli sengat matahari atau ramainya lalu lintas di depan mata. Ekspresinya sumringah, senyumnya tersungging lebar.

Sore itu terkesan menyenangkan bagi Adriansyah. Ia membopong beban sebagai tulang punggung keluarga dalam hal persoalan pangan.

Makan atau tidaknya anggota keluarga, bergantung di tangan Adriansyah.

Baca juga: Cerita Posyandu Teratai Muara Enggelam Terbaik di Kukar, Atasi Masalah Gizi Anak dengan Hidroponik

Sejauh ini, penjaja surat kabar jadi pilihan. Sudah beberapa bulan terakhir, dirinya melakoni pekerjaan itu.

Rutinitas yang membuatnya memanggul selusin eksemplar surat kabar setiap hari.�

Apa yang ditempuh Adriansyah tak beda jauh dengan Joko (10), bukan nama sebenarnya.

Hanya beda komoditas yang ditawarkan. Kalau Adriansyah dengan eksemplar surat kabar, maka Joko dengan pak-pak tisu kering.

Perbedaan lain, Joko tak bergerombol untuk mendulang rupiah disaat Adriansyah biasa bersama dengan teman sebaya yang juga penjaja surat kabar.

Meski berbeda komoditas, keduanya kompak bersuara bahwa melakoni pekerjaan itu atas instruksi orang tua.

Baca juga: Menciptakan Balikpapan Kota Layak Anak tanpa Anak Jalanan sebagai Bentuk Perlindungan Anak

Barang jualan sudah disiapkan, mereka tinggal menawarkan, lalu pulang dengan membawa hasil.

Semakin banyak, semakin bagus kendati tak penting berapa pun hasilnya.

"Saya diantar sama bapak dari rumah. Nanti turun bisa dimana saja, kadang di DAM, kadang di Balikpapan Baru.

Nanti pas mau pulang disuruh tunggu di tempat tadi diturunin, terus dijemput," tutur Adriansyah seraya memangku surat kabar yang belum terjual.

Adriansyah dan Joko sejatinya bukan menjual fisik barang, melainkan simpati demi meraup empati orang lain yang kemudian memberi sejumlah uang.

Seperti kata Adriansysh yang tak ambil pusing meski dagangannya tak terjual satu pun.

"Pernah juga orang kasih uang, terus ambil korannya, terus nggak lama habis itu dia kembalikan lagi korannya," ucap Ardiansyah terkekeh.

Meski barang tak habis terjual, Adriansyah bisa mengantongi paling sedikit Rp150 ribu per hari dalam bentuk pecahan berbagai nominal.

Paling banyak saat momen lebaran terakhir.

Buntelan uang pecahan sejumlah lebih dari Rp500 ribu penuh sesak di kantong celananya.

Senasib dengan Joko. Meski hanya bermodal 4 paks tisu kering, dirinya bisa membawa pulang uang tunai hingga Rp300 ribu sehari.

Ya, kantongi ratusan ribu rupiah untuk penjualan hanya 1 paks.

Baca juga: Perjuangan IKBM dan Sekolah di Malinau Atasi Learning Loss, Kolaborasi Pembelajaran Ramah Anak

Soal jam operasional, baik Joko maupun Adriansyah, kompak menyebut jamnya tak menentu.

Bergantung pada pemberi instruksi. Namun biasanya berlangsung pada siang hingga memasuki malam hari.

Singkat cerita, Adriansyah pun dijemput oleh ayahnya.

Namun ayahnya memberi sinyal menolak untuk diwawancarai Tribun Kaltim sambil mengatakan� tidak memiliki banyak waktu, lantas beranjak pergi sambil berkata, "Dia kerja. Jangan diganggu."

Sama halnya dengan orangtua Joko, Supri (48), yang irit bicara saat diwawancarai awak Tribun Kaltim di kediamannya di Kecamatan Balikpapan Barat, Balikpapan.

Dia berdalih bahwa aktivitas berjualan yang dilakukan anaknya merupakan inisiatif pribadi Joko, bukan lantaran suruhan orangtua.

Supri mengamini jika ekonomi keluarga terbantukan dengan melepas anaknya ke keramaian orang, menjajakan tisu yang dibanderol Rp5 ribu per paks.

Tak jarang, penghasilannya sebagai buruh serabutan tertandingi oleh pemasukan dari Joko.

Baca juga: Kejar Provinsi Ramah Anak, DP3AP2KB Kaltara Fokus Kepada Dua Daerah Ini

Ia menyebut anaknya, Joko, anak yang pekerja keras. Dia menolak jika anaknya disebut pengemis atau disebut ekploitasi anak.

Baginya, Joko hanya mencoba membantu untuk menghidupi keluarga sambil melakukan semampunya.

"Saya tidak memaksa. Dia sendiri yang pilih untuk berjualan," ucap Supri membenarkan.

Fenomena Sosial Baru

Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Kaltim, AKBP Teguh Nugroho menyimpulkan, kondisi� demikian merupakan fenomena sosial yang sejatinya belum lama muncul di Balikpapan.

Dalam sebulanan ini, pihaknya telah menelusuri dan memetakan persebaran potensi eksploitasi anak di bawah umur.

"Ada kurang lebih 20 titik yang menjadi tempat beroperasi mereka. Seperti ATM, lampu merah, kemudian supermarket dengan berbagai modus.

Bukan hanya di Balikpapan, tapi se-Kaltim," ungkap Teguh kepada Tribun Kaltim.

Secara rentang usia, Teguh menyebut, berkisar antara 5-12 tahun sudah berkeliaran mencari uang, menghidupi diri sendiri bahkan keluarganya.�

Teguh membeberkan, mereka bergerak atas suruhan orangtuanya. Lebih parah bahkan ada yang sengaja mengoordinir anak-anak tersebut untuk disebar di Balikpapan dan bekerja.

"Informasi ini kami terima dari Satpol PP Balikpapan. Masih kami selidiki. Cuma kami berkomitmen, apabila terbukti, maka kami akan lakukan penegakan hukum," Teguh menegaskan.

Beberapa upaya sudah dilakukan. Misalnya memberi imbauan kepada orangtua si anak untuk ketat mengawasi.

Jangan justru memberi perintah agar bekerja di jalan yang berpotensi menjadi bahaya bagi si anak.

Baca juga: Tak Boleh Ada Asap Rokok, Bupati Bulungan Ingin Tebu Kayan Jadi Ruang Ramah Anak dan Bebas Polusi

Upaya tersebut dipertebal dengan preventif atau pencegahan. Bentuknya patroli hingga menampugn pengaduan melalui media sosial.

Dan terakhir dengan upaya represif. Berdasarkan kondisi di lapangan, Teguh berpendapat, tidak menutup kemungkinan bahwa orangtua anak dapat menjadi tersangka.

"Karena menelantarkan anak saja bisa kena pidana, apalagi memperkerjakan," tuturnya.

Dia mengatakan, dalam persoalan anak bekerja ini, faktornya bukan hanya soal ekonomi semata. Melainkan juga kekeliruan pola asuh yang berimbas pada pola pikir anak yang rusak.

Teguh mencontohkan, pola pikir yang terbentuk pada anak-anak tersebut adalah mereka yang sudah enggan untuk menempuh pendidikan alias menolak untuk bersekolah.

"Mereka ini tidak ada yang bersekolah. Sudah tahu enaknya cari uang, jadi keterusan. Kan ini pola asuh yang salah," ulas Teguh.

Sebab itu, perlu kerja sama semua pemangku kepentingan demi mengentaskan permasalahan ini.

Pasalnya untuk penanganannya perlu secara komprehensif dan tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum.

"Dalam penegakan hukum yang efektif adalah dengan hit and fix. Artinya setelah kita tindak, ada perbaikan," pungkasnya.(m19)

Sumber: kaltara.tribunnews.com

Komentar