POLHUKAM.ID - Lini masa Twitter ramai membahas soal anak zaman sekarang yang "senang" apabila mengidap gangguan mental atau mental illness.
Bermula dari akun ini yang mengunggah tangkapan layar kolom komentar sebuah video TikTok, pada Sabtu (27/5/2023).
Tampak dalam tangkapan layar, pengguna TikTok menyatakan keinginan untuk memiliki panic attack atau serangan panik.
"Kenapa dah bocil zaman now punya pikiran kalo punya mental illness itu keren?" tulis warganet Twitter.
Unggahan ini pun menarik perhatian pengguna lain dan telah menuai lebih dari 806.000 tayangan, 15.700 suka, serta 590 twit ulang hingga Minggu (28/5/2023).
Lantas, mengapa anak sekarang kerap menganggap mental illness sebagai sesuatu yang keren?
Baca juga: Viral, Unggahan Sebut Malas Mandi dan Suka Rebahan Gejala Gangguan Jiwa Ringan, Benarkah?
Ingin simpati dan pemahamanRomantisasi gangguan jiwa atau mental illness membuat beberapa orang menganggapnya sebagai sesuatu yang keren.
Psikolog dari Unika Soegijapranata Semarang Christin Wibhowo menjelaskan, orang-orang sejenis itu kemungkinan ingin menggalang simpati dan pemahaman dari orang lain.
"Dia ingin dengan perilakunya itu orang jadi simpati dan memaklumi kalau dia berperilaku salah," ujarnya, saat dihubungi POLHUKAM.ID, Minggu (28/5/2023).
Christin mencontohkan, apabila seseorang mengaku mengidap borderline personality disorder atau kepribadian ambang, dan suatu waktu melakukan perbuatan berisiko seperti memukul, maka dia minta untuk dimaklumi.
Menurut Christin, orang yang gemar memamerkan kesedihan ini justru memiliki gangguan tersendiri lantaran kerap mengasihani diri sendiri.
Tak seperti mengasihi diri sendiri yang bagus untuk diterapkan, mengasihani dan memelas sebaiknya tak dilakukan.
"'Aku tolong dimaklumi, kan aku depresi,' ini justru menjerumuskan dia makin bergangguan," ungkapnya.
Baca juga: Benarkah Suka Bicara Sendiri dan Ngehalu adalah Tanda Gangguan Mental?
Pamer kesedihan tunjukkan perjuangan kerenDosen Unika Soegijapranata Semarang ini melanjutkan, pamer kesedihan atau kekurangan berupa mental illness kemungkinan juga ingin menunjukkan perjuangan lebih keren.
"Lihat aku ini orang depresi, orang kepribadian ambang, tapi aku bisa lulus loh," katanya memberi contoh.
Menurut Christin, orang tersebut menonjolkan gangguan jiwa untuk memamerkan bahwa sebenarnya perjuangan yang dilaluinya luar biasa.
Kendati demikian, lanjutnya, curhat dengan gaya seperti ini di media sosial memiliki banyak kerugian dan berisiko menambah masalah.
Apabila menghadapi masalah, akan lebih baik bercerita kepada pihak berkompeten, seperti orangtua, teman, atau profesional termasuk psikolog.
"Itu akan mendapat solusi yang tepat. Tapi kalau curhat di media sosial justru masalah kita tidak akan selesai," ungkapnya.
Sebab, media sosial berpotensi melahirkan komentar-komentar tidak pas yang akan menambah masalah orang.
Christin menambahkan, sebelum membagikan konten berbau gangguan jiwa, sebaiknya pikirkan apakah ada manfaatnya atau tidak.
Misalnya, penderita depresi membagikan tips mengatasi penyakitnya, meski dirinya juga masih berjuang.
"Ini berguna juga untuk orang lain, itu oke," kata dia.
Namun, apabila hanya untuk pamer kesedihan, lebih baik apabila tak diunggah lantaran dapat menularkannya kepada orang lain.
"Orang yang tadinya tidak tahu kalau dia depresi dan semangat-semangat saja dalam hidup karena melihat ciri-ciri kita itu, mereka kayak jadi ketularan," ujar Christin.
"Oh jangan-jangan saya depresi. Ini malah membuat masyarakat makin bergangguan," pungkasnya.
Sumber: kompas.com
Artikel Terkait
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
Rocky Gerung Sebut Ucapan Selamat Jalan Luhut ke Jokowi Penanda, Penanda Apa?
Pasutri di Sidoarjo Diduga Bekerja Sama Cabuli Siswi SD Penyandang Disabilitas