BANJARMASINPOST.CO.ID - Penyelundupan satwa dilindungi ke luar negeri masih jadi momok di Indonesia.
Terbaru, Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) melalui Balai Penegakan Hukum (Gakkum), Kanwil Ditjen Bea dan Cukai Kalbagsel mengungkap upaya penyelundupan 360 kg sisik trenggiling (Manis Javanica).
Jika dihitung nilainya cukup fantastis, yakni Rp 72,86 miliar dan jumlah trenggiling yang jadi korban diprediksi 1.440 ekor.
Berdasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem sebenarnya telah mengatur ancaman hukuman untuk pelakunya, namun pelaku atau bahkan mungkin sindikat penyelundupan satwa dilindungi ini masih saja terjadi.
Lantas, apakah yang menjadi penyebab penyelundupan ini masih kerap terjadi? Apa pula peran KLHK atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dalam mencegah upaya penyelundupan sudah optimal? Bagaimana pula peran stakeholder seperti pemerintah daerah?
Deretan pertanyaan-pertanyaan tersebut mengemuka karena seakan-akan, ada rantai yang putus (missing link).
Faktor ekonomi jelas menjadi alasan utama kenapa penyelundupan satwa liar kerap terjadi.
Nilai ekonomis satwa liar yang tinggi ketika diperdagangkan membuat sekelompok orang yang bisa jadi tidak terdidik secara pengetahuan konservasi maupun mereka yang memang sudah berkecimpung di dunia kriminal mudah terjerumus.
Jadi, sebenarnya harus ada dua pola tindakan untuk meminimalisasi maraknya penyelundupan satwa dilindungi ini.
Bagi mereka yang memang sudah jelas-jelas pelaku, bagian dari jaringan penyelundupan, maksimalkan hukuman sesuai undang-undang yang berlaku agar ada efek jera.
Tapi, bagi mereka yang masuk kelompok kedua, tidak terdidik secara konservasi, masyarakat awam yang hanya tahu kalau memperdagangkan satwa itu bisa menghasilkan uang banyak namun tak tahu bahwa itu melanggar hukum, maka prevention without punishment (tindakan pencegahan tanpa diberi hukuman) mungkin lebih tepat.
Dua tindakan tersebut harus dibarengi pula upaya membangun persepsi di masyarakat, memberi sosialisasi yang berbasis lingkungan sekitar hingga timbul pemahaman bahwa sangat rugi secara ekologis jika satwa ini punah, tinggal nama, hanya cerita pengantar tidur ke anak.(*)
�
Sumber: banjarmasin.tribunnews.com
Artikel Terkait
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
Rocky Gerung Sebut Ucapan Selamat Jalan Luhut ke Jokowi Penanda, Penanda Apa?
Pasutri di Sidoarjo Diduga Bekerja Sama Cabuli Siswi SD Penyandang Disabilitas