MATARAM, KOMPAS.com - Kuasa hukum tersangka HSN (50), pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, membantah kliennya mencabuli santriwati, apalagi jumlahnya sampai puluhan orang.
Hal itu disampikan kuasa hukum HSN, Hulain saat dikonfirmasi melalui telepon, Jumat (19/5/2023).
Dia menilai kasus tersebut dipaksakan oleh aparat kepolisian.
"Kasus ini dipaksakan. Polres Lombok Timur terlalu nekat. Bagaimana mungkin orang dituduh melakukan pencabulan suatu perzinahan saat dia tidak ada di lokasi," kata Hulain.
Baca juga: Bupati Lombok Timur Minta Pelaku Pencabulan 41 Santriwati Dihukum Berat
Hulain menjelaskan, pelapor menuduh HSN melakukan kekerasan seksual tanggal 15 Februari 2023. Sementara dia (korban, red) tidak masuk di ponpes sejak tanggal 13 Februari 2023, dibuktikan dengan absensinya, dia tidak masuk dan tidak sedang berada di asrama.
"Kok bisa dikatakan lakukan pencabulan? Ustaz ketika itu juga lagi sakit, baru pulang operasi, tanggal 13 Februari. Rekam medisnya lengkap itu," dalihnya.
Kliennya didiagnosa mengalami sakit ambeien, dan baru pulang operasi pada 15 Februari 2023, saat yang dituduhkan melakukan pelecehan tersebut.
"Aneh, saya curiga, kalaupun ada bukti, buktinya dipalsukan," katanya.
Anggap aneh korban sampai 41 orangHulain juga menilai aneh jika jumlah korban mencapai 41 orang korban.
"Itu bisa saja untuk melakukan justifikasi bahwa kasus yang dilaporkan menjadi booming. Kalau 40-an itu ada bukti, ndak? Ndak mungkin kalau 41 korban diam selama ini, sejak 2016," katanya.
Pimpinan ponpes ini, menurut Hulain, mengalami sakit cukup lama, diabetes parah sejak 2011.
"Rekam medisnya lengkap. Jangan hanya karena desakan publik, hanya perintah pimpinan, Polres Lombok Timur nekat melakukan penahanan dan melanjutkan kasus ini," ungkapnya
Apa yang dilakukan aparat kepolisian, menurut kuasa hukum HSN, adalah tindakan yang riskan. Dia mengancam organisasi bisa ribut jika kasus ini trus diangkat.
Hulain meminta aparat dan pihak yang mengangkat kasus ini mempertimbangkan jika jemaah HSN marah. Bisa menimbulkan instabilitas karena sensitif.
Baca juga: Pencabulan 41 Santriwati di 2 Pesantren NTB, Korban Trauma dan Sebagian Pergi ke Luar Pulau
Menurutnya, penegakan hukum tak mesti terwujud asas keadilan, tapi asas kemanfaatan untuk masyarakat harus dipertimbangkan, yaitu stabilitas.
Walaupun itu benar terjadi, kata dia, tapi asas kemanfaatan untuk masyarakat harus dipertimbangkan.
"Tidak selamanya orang bersalah harus dihukum, karena asas kemanfaatan yang dikedepankan. Penegakan Itu nomer sataq seket (bahasa sasak) yang artinya nomer ke diuaratus lima puluh. Ini ndak rasional," katanya emosi.
Sumber: regional.kompas.com
Artikel Terkait
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
Rocky Gerung Sebut Ucapan Selamat Jalan Luhut ke Jokowi Penanda, Penanda Apa?
Pasutri di Sidoarjo Diduga Bekerja Sama Cabuli Siswi SD Penyandang Disabilitas