Anwar Sadiq baru berusia beberapa jam ketika tim BBC pertama kali bertemu dengannya di sebuah kamp pengungsi di Bangladesh pada September 2017.
Tubuh mungil Anwar ditutupi kain katun tipis ketika ibunya, Mohsena, menggendongnya di bawah tenda darurat, di sebidang tanah kosong.
Lima tahun kemudian, kehidupan anak laki-laki kecil yang lahir ke dunia dalam keadaan paling berbahaya itu ternyata masih tetap rapuh.
Dia adalah satu dari setengah juta anak yang tumbuh di sini, di tengah kelaparan, penyakit, dan trauma, dengan sedikit harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Kenyataannya, di kamp tidak ada pendidikan formal dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan sedikit pun.
Anwar lahir dalam kehidupan yang penuh kekacauan dan bahaya.
Orang tuanya yang masih muda ikut eksodus massal bersama orang-orang Rohingya lainnya. Mereka meninggalkan desanya di Myanmar dalam ketakutan, tanpa membawa apa-apa.
"Saya dulu berpikir saya akan membesarkannya di dunia yang indah dan damai," Mohsena memberi tahu kami saat itu, "tetapi saya berada di kamp pengungsi dan ini sama sekali bukan tempat yang indah."
Sekarang hampir satu juta orang tinggal di sini, dikelilingi pagar kawat berduri dan terputus dari dunia luar.
Mereka melarikan diri dari pasukan Myanmar yang dituduh melakukan pembunuhan secara sistematis, memperkosa, dan menyiksa penduduk minoritas Rohingya. Tahun lalu pemerintah AS mengatakan mereka telah melakukan genosida.
Dengan militer yang sama, yang sekarang menjalankan pemerintahan di negara mereka sejak kudeta 2021 lalu, pengungsi Rohingya memiliki peluang yang sangat kecil untuk kembali.
Kami mencari Anwar di gang-gang padat dan sempit, yang membentuk kamp pengungsi terbesar di dunia, dekat kota tepi laut Cox's Bazar.
Kami tidak percaya kami dapat menemukan keluarga itu lagi, di antara barisan tempat penampungan bambu yang berbentuk sama dan tak berujung.
Pada 2017 mereka tinggal di tempat terbuka tanpa alamat tetap. Bahkan sekarang mereka masih belum memiliki ponsel.
Hari ini, Anwar telah tumbuh menjadi anak kecil bermata lebar yang pemalu. Dia sering menempel erat pada ibunya - menyandarkan kepalanya di pangkuannya, menarik kerudung merah jambu yang dipakai ibunya.
Dia juga memiliki dua adik perempuan, Sadeqa yang berusia dua tahun, dan Almar Rufa, yang hampir satu tahun.
Kini, keluarga itu tidak lagi tinggal di bawah tenda. Tempat tinggal mereka saat ini agak lebih baik.
Mereka berbagi tempat berlindung di satu kamar sederhana, yang tidak memiliki jendela untuk jalan masuk cahaya. Tidak ada kipas untuk menyejukkan panas yang lengket, dan ventilasi yang sangat sedikit.
Anwar dan saudara perempuannya bahkan tidak memiliki tempat untuk tidur. Tikar yang disumbangkan oleh PBB memberikan sedikit kenyamanan dari lantai beton yang keras.
Harta mereka yang sedikit - panci dan wajan logam, dan beberapa pakaian yang digantung di tali jemuran - semuanya diberikan oleh lembaga bantuan.
"Dulu di Myanmar kami memiliki rumah besar yang kokoh, yang terbuat dari papan kayu. Kami memiliki tanah dan kami mengolahnya untuk mencari nafkah," kata Mohsena.
Dia baru berusia 15 tahun dan sedang hamil tua ketika melarikan diri dari militer Myanmar pada September 2017, bersama suaminya, Nurul Haq.
Pamannya ditembak dan dibunuh saat sedang memancing dan Mohsena khawatir jika mereka tidak segera pergi, keluarganya akan menjadi korban berikutnya.
Mohsena berjalan tanpa alas kaki selama berhari-hari, pergelangan kakinya bengkak.
Saat dia menyeberangi sungai ke negara tetangga, Bangladesh, kontraksinya dimulai.
Perahu kayu reyot yang ditumpanginya terbalik dan Mohsena mengira dia dan calon bayinya yang belum lahir akan tenggelam. Suaminya menyelamatkan mereka.
Lelah dan basah kuyup, pasangan itu terus berjalan hingga tiba di rumah sakit dekat perbatasan, tempat kelahiran Anwar.
Sungguh menakjubkan, dia bertahan.
Namun, beberapa bulan lalu, Mohsena kembali ke fasilitas yang sama di dekat kamp, lagi-lagi dia khawatir akan kehilangan Anwar.
Anaknya itu terserang demam, jantungnya berdebar kencang, dan dia tidak berhenti batuk. Dokter mengatakan dia menderita radang paru-paru.
Hampir seminggu berlalu, Anwar dan saudara-saudaranya masih sakit.
Kondisi kehidupan anak-anak di kamp itu jorok dan tidak sehat. Mereka bermain di samping tumpukan sampah, menghirup asap menyengat yang berasal dari aliran limbah terbuka yang hitam pekat.
Menurut UNHCR, 30.000 bayi lahir di sini setiap tahun, tapi ini bukanlah tempat yang layak untuk seorang anak.
Lebih dari separuh anak balita di sini menderita anemia dan empat dari 10 balita pertumbuhannya terhambat.
"Anak-anak tinggal di ruang yang tidak higienis dan padat, yang menyebabkan berbagai penyakit menular dan infeksi," jelas Dr Tanvir Ahmed dari badan amal Doctors Without Borders.
Terlepas dari upaya mereka, Dr Ahmed mengatakan anak-anak Rohingya terjebak dalam siklus penyakit, di mana mereka jatuh sakit, dirawat, sebelum kembali ke kondisi tidak higienis yang sama di kamp, dan jatuh sakit lagi.
Kurangnya akses terhadap makanan bergizi dan sehat juga menjadi faktor besar.
"Kadang kami bisa makan, kadang tidak," kata Mohsena dengan raut wajah sedih yang mendalam.
Untuk makanan, pengungsi Rohingya hampir sepenuhnya bergantung pada lembaga bantuan, menerima voucher bulanan untuk makanan, yang dapat mereka tukarkan di pusat distribusi PBB, untuk membeli bahan pokok seperti beras, ayam, sayuran, dan lentil.
Bulan lalu bantuan makanan yang diandalkan para pengungsi dipotong dari $12 (senilai Rp177 ribu) per bulan, menjadi $10 (senilai Rp148 ribu). Pada Juni, jatah itu akan dikurangi lagi, menjadi hanya $8 (senilai Rp118 ribu).
Program Pangan Dunia (WFP) yang dikelola PBB mengaku terpaksa melakukan pemotongan karena penurunan pendanaan internasional - perang di Ukraina telah menggelembungkan anggaran bantuan dan dana dari negara-negara donor utama seperti AS.
Mohsena sudah kehabisan makanan bulan ini. Wadah plastik yang seharusnya diisi nasi, lentil, gula, dan rempah-rempah semuanya kosong, dan bahan yang tersisa hanyalah setengah panci garam dan bawang putih.
Sampai mereka mendapatkan ransum berikutnya, mereka hidup dari sebagian kecil kari ikan dan ayam berumur sehari, disimpan dalam panci logam di samping, dan mungkin harus meminta makanan dari keluarga lain.
"Kami terus-menerus khawatir bagaimana kami akan bertahan hidup. Bagaimana kami bisa mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kami?" kata Mohsena.
Suaminya Nurul, yang berusia 22 tahun, bekerja hanya beberapa hari dalam sebulan. Dia melakukan kerja paksa atau membersihkan selokan yang bau, tetapi hampir setiap hari dia terpaksa duduk di rumah.
Selama kunjungan kami, dia duduk diam di sudut, menidurkan anak bungsu mereka.
Ketika topan Mocha menghantam kamp, sebuah pohon kecil tumbang dan menghantam tempat berlindung mereka, membengkokkan beberapa struktur bambu yang tipis.
Baca juga:
Pengungsi Rohingya: 'Lebih baik bunuh kami, daripada deportasi kami ke Myanmar' Jenazah dibuang ke laut di malam hari: Cerita pengungsi Muslim Rohingya 'Disiram air panas' hingga 'bayar utang sampai mati': Kisah pengungsi Rohingya yang terdampar di AcehSebagai bukti betapa tangguhnya para pengungsi Rohingya, Nurul berhasil memperbaiki pondok beberapa jam setelah badai berlalu.
Namun, para pengungsi tidak diizinkan meninggalkan kamp untuk bekerja, dan pekerjaan di dalamnya langka - 95% pemuda di kamp menganggur, menurut laporan tahun 2022 dari Dewan Pengungsi Norwegia (NRC).
Bangladesh membatasi segala jenis integrasi antara pengungsi dan penduduk lokal dan bahkan tidak mengizinkan pengungsi Rohingya untuk diajari bahasa atau kurikulum lokal.
Setelah menampung para pengungsi selama lima tahun, pemerintah Bangladesh kini ingin memulangkan mereka kembali ke Myanmar secepat mungkin.
Dalam wawancara dengan BBC, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina meminta seluruh dunia untuk memikul lebih banyak tanggung jawab.
"Mereka tidak bisa membebani kami selamanya," katanya. "Negara kami kelebihan penduduk dan rakyat kami sudah menderita."
Namun, para pengungsi Rohingya mengatakan mereka hanya akan kembali ke Myanmar jika keamanan mereka terjamin - dengan perang saudara yang terus berlanjut, itu adalah permintaan yang tidak mungkin.
Kerugian mental dari krisis pengungsi ini adalah kisah lain yang tak terhitung.
"Saya tidak ingin anak saya menderita seperti saya," kata Nurul. "Saya ingin dia mengenyam pendidikan dan memulai bisnis."
Namun, itu akan menjadi tantangan.
Anak-anak Rohingya tidak memiliki akses ke pendidikan formal. Sekolah tidak diizinkan di kamp dan mereka tidak dapat bersekolah di sekolah lokal Bangladesh di luar.
Untuk menutup beberapa celah, lembaga bantuan dan relawan telah mendirikan ruang kelas darurat di dalam kamp.
UNICEF mengatakan sekitar 5.000 pusat pembelajaran seperti ini masih beroperasi, banyak di antaranya dikelola oleh guru tanpa kualifikasi formal.
Anwar pergi ke salah satu pusat pembelajaran di dekat rumahnya hanya beberapa jam sehari. Dan meskipun dia hanya pernah tinggal di Bangladesh, pelajarannya berbahasa Burma, bahasa negara yang ditinggalkan orang tuanya.
Ketika Anwar bertanya kepada Mohsena di mana dia dilahirkan, dia mengatakan kepadanya bahwa hidupnya dimulai di kamp pengungsian ini.
"Apakah aku sudah pernah melihat Myanmar, Bu?" dia bertanya padanya.
"Tidak, kamu belum pernah," jawabnya.
Lima tahun dari sekarang, di mana Anwar akan berada?
Laporan tambahan dan foto oleh Neha Sharma dan Aamir Peerzada.
Sumber: bbc.com
Artikel Terkait
Bukan Mobil atau Motor, Pria Ini Naik Babi Terobos Banjir
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
Rocky Gerung Sebut Ucapan Selamat Jalan Luhut ke Jokowi Penanda, Penanda Apa?