Tak ada pesta pemilu di kota kuno Antakya bagian Turki Selatan - yang ada hanyalah puing-puing dan siksaan.
"Apa yang saya inginkan dari kotak suara adalah mayatnya, bukan yang lain," kata Fethiye Keklik. "Jiwa kami telah direnggut. Dia tak ada gunanya bagi kami."
Perkataan nenek 68 tahun ini merujuk pada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Di Turki, menghina presiden bisa berujung penjara, tapi Fethiye tidak bisa tinggal diam.
"Dia hanya membawa bencana. Saya berpikir untuk membakar kertas suara saya - di depan polisi dan tentara."
Pemimpin Islamis Turki terlihat lebih rentan tidak seperti sebelumnya--menjelang pemilu legislatif dan presiden pada 14 Mei mendatang.
Berakhirnya era otoriter Erdogan - kalau ini terjadi - semestinya bermakna lebih bebas, lebih demokratis bagi Turki. Penjara-penjara mungkin akan lebih sedikit penghuninya, dan ketegangan hubungan dengan Barat akan berkurang.
Menjelang pemungutan suara, warga Turki punya segudang hal untuk dikeluhkan - dan kesedihan - mengenai lambannya negara dalam menangani bencana gempa pada Februari, hingga perekonomian yang hancur.
Tingkat inflasi menyentuh 50%. Para pakar menyalahkan kebijakan ekonomi presiden yang digambarkan secara halus sebagai "tidak ortodoks".
Di sini, Turki bagian selatan, kondisi ekonomi dan politik dibayang-bayangi "kematian".
Jumlah korban resmi dari bencana alam terburuk dalam sejarah Turki ini lebih dari 50.000 orang. Tapi, banyak yang percaya jumlahnya lebih tinggi dari itu, dan pemerintah telah berhenti mendata.
Fethiye kehilangan empat anggota keluarganya.
Kami bertemu dengannya di sebuah pemakaman pinggir jalan saat tangisannya memecah udara. Ia meringkuk di tanah, di balik kerudung hitam dan kardigan wol. Ia menangis memanggil anaknya Coskun, 45 tahun, yang terbaring di dalam tanah.
"Bagaimana aku bisa melupakanmu?" ratapnya sambil memegangi papan kayu, penanda makam anaknya.
"Bawalah aku bersamamu. Kamu telah meninggalkan anak-anak yatim. Saya telah membawa Eren untuk bertemu denganmu."
Saat nama Eren disebut, seorang bocah empat tahun datang untuk menghibur neneknya, ikut jongkok dan mendekati makam lalu memeluknya. "Ayahmu terbaring di sini," kata Fethiye kepada Eren. "Tidak. Papa tidak ada di sini," balas Eren.
Bocah laki-laki yang muram itu, menggunakan anorak berwarna biru tua, dan terlihat bekas luka di dahinya - akibat gempa.
Saat gempa terjadi, Fethiye membekapnya di bawah reruntuhan selama delapan jam sebelum akhirnya mereka berhasil dikeluarkan - bukan diselamatkan tim penyelamat, tapi oleh tetangganya sendiri yang merupakan pengungsi Suriah.
Keluarga ini kehilangan ayah Eren, kakak, adik dan seorang keponakan - semua dimakamkan dalam satu baris.
Fethiye menyalahkan pejabat yang korup, kontraktor bangunan yang tidak kompeten, yang paling utama, Presiden Recep Tayyip Erdogan.
"Pertama-tama adalah dia," katanya, "karena dia memberikan kesempatan kepada orang-orang seperti itu. Para kontraktor menyuap pemerintah, kemudian mereka membangun bangunan. Mereka menyuap dan membangun. Mereka membunuh kami semua."
Gempa bumi tersebut mengungkap kesalahan struktural dalam pemerintahan Presiden Erdogan yang telah lama berlangsung. Ia telah memberikan pengampunan bagi konstruksi ilegal. Para pengembang dapat membangun bangunan rapuh, dan ketika dijerat hukum bisa bebas karena membayar denda.
Dan negara sendiri tidak memiliki pengawasan yang memadai, kata para kritikus, yang menyebabkan minimnya pengawasan dan persiapan.
Berjalan menelusuri sisa-sisa bangunan di Antakya - sebuah wadah peradaban dan agama - dan Anda bisa melihat kondisinya. Sejarah selama berabad-abad telah direduksi sebagai tambal sulam bangunan dan ruang-ruang kosong.
Di luar satu rumah yang runtuh, sebuah kursi berwarna abu-abu besar masih utuh, seolah-olah pemiliknya akan kembali dan duduk di sana. Sejumlah bangunan bertingkat posisinya sudah terbalik, sementara yang lain retak seperti rumah-rumahan yang aneh.
Hampir setiap percakapan di sini diselingi kisah-kisah orang yang meninggal - banyak yang tewas karena menunggu pertolongan yang tak kunjung tiba. Tapi di negara yang sangat terpolarisasi ini, bencana gempa adalah masalah tersendiri.
Para pendukung presiden - yang jumlahnya mendominasi - menggemakan padangan bahwa gempa adalah takdir. Di antara pendukungnya yang konservatif, kepemimpinan Erdogan tetap menjadi sebuah keyakinan.
Kami menjumpai Ibrahim Sener yang tengah duduk di antara reruntuhan Jalan Zumrut di kota tua Antakya, di antara pecahan kaca dan potongan-potongan besi. Pria 62 tahun tampaknya tidak menyadari kehadiran kami, ia tenggelam dalam lamunan dan asap rokoknya.
"Rumah kami retak dari ujung sampai ujung," katanya kepada kami. "Kami mengalami mimpi buruk terbesar di dalam rumah kami. Kami tidak bisa bahagia karena selamat, karena kami tetap kehilangan keluarga dan teman-teman. Tidak ada sambungan telepon, tidak ada internet. Tak satupun bisa menolong yang lainnya. Setelah lima atau enam jam, saya mendapat kabar bahwa kakak saya meninggal."
Kepercayaannya kepada presiden tidak tergoyahkan...
"Bencana ini datang dari Tuhan," katanya. "Ini adalah kehendak-Nya. Tak seharusnya dipolitisir. Bukan presiden kami yang menyebabkan gempa. Presiden kami telah melakukan yang terbaik."
Ibrahim pergi melanjutkan aktivitasnya, tapi terdapat dua perempuan di seberang jalan - Gozde Burgac, 29 tahun dan bibinya Suheyla Kilic, 50 tahun. Mereka berdua adalah aktris.
Gozde punya tato di lengannya bertulis - "Hidup itu indah" dalam bahasa Prancis. Di tengah puing-puing berserakan, tulisan itu terbaca seperti ejekan.
Mereka datang ke lokasi itu untuk memberi makan kucing-kucing liar, sebuah tradisi Turki yang bertahan bahkan di masa-masa sulit. Dan mereka sempat menguping cerita Ibrahim yang sulit dipercaya dan pedih.
"Apa yang baru kami dengar benar-benar membuat saya tersinggung karena tak ada yang membantu kami dengan cara apapun," kata Gozde, hampir menangis.
"Apakah kami ini berasal dari alam semesta yang berbeda, atau dia [Ibrahim]? Apa yang ia katakan tentang Erdogan jelas tidak benar. Ini kesalahannya. Pemerintah adalah pihak yang berkewajiban membantu kami, tapi tak ada satupun yang hadir.
"Dengan daya dan upaya kami, dengan cara kami sendiri, kami berusaha menghubungi keluarga kami pada jam-jam pertama setelah gempa. Kami menemukan mayat mereka beberapa jam kemudian, beberapa hari kemudian."
Gozde mengatakan para pejabat dari kantor kepresidenan pernah muncul sekali, saat saudara iparnya berhasil dibawa keluar dari reruntuhan hidup-hidup.
Dia mengatakan, saudaranya itu diselamatkan tim penyelamat dari Italia, sementara yang dilakukan pejabat pemerintah adalah "berpose di depan kamera, sehingga seragam mereka terlihat".
"Kemudian mereka pergi, dan tak ada lagi yang datang," katanya.
Perempuan-perempuan ini sekarang berkabung untuk tiga anggota keluarga mereka, dan untuk kehancuran kota mereka.
Akankah semua kematian dan kehancuran ini akan mengubah arah di hari pemilu nanti?
Jawabannya mungkin tidak.
Jajak pendapat diselenggarakan setelah gempa dan menunjukkan hanya sedikit penurunan dukungan bagi Presiden Erdogan, yang telah meminta maaf atas respon negara yang lamban. Dia juga menjanjikan program rekonstruksi yang ambisius - meskipun tidak masuk akal.
"Bencana gempa ini tidak akan berpengaruh bagi Erdogan," menurut analis politik yang berbasis di Istanbul, Can Selcuki. "Pemilu ini bukan tentang kinerja. Ini soal politik identitas. Mereka yang menginginkannya, akan tetap memilihnya apa pun yang terjadi."
Setelah dua dekade berkuasa, pemimpin Turki ini telah memiliki penantang yang serius - meskipun tidak terlalu menggebu-gebu. Kemal Kilicdaroglu adalah kandidat sekuler dari aliansi oposisi.
Jajak pendapat telah memberikan sedikit keunggulan bagi Kilicdaroglu, yang terkenal karena membuat video kampanye sambil duduk di meja dapurnya yang sederhana.
Dalam sebuah wawancara kepada BBC, mantan PNS itu berjanji akan membawa kebebasan dan demokrasi, serta mengubah arah Turki ke arah Barat.
Namun, banyak pihak yang belum sepenuhnya percaya pada sang presiden, termasuk Wali Kota Antakya, Lutfu Savas yang berasal dari partainya Kilicdaroglu.
Kami bertemu dengannya di bangunan sementara yang kini menjadi kantornya.
"Dia [Erdogan] adalah pemimpin partai politik yang mampu mempertahankan kekuasaannya selama 21 tahun," katanya - lebih lama dari siapapun bahkan pendiri Turki, Kemal Ataturk.
"Terlepas dari semua persoalan - ekonomi, sosial, dan bencana gempa - dia sangat paham bagaimana berpolitik, dan menggunakan semua instrumen negara untuk meraih kemenangan."
Presiden Erdogan dan partainya, Partai Pembangunan dan Keadilan (AK), tentu akan terbantu dengan media di Turki yang sudah dikuasai. Pemerintah mengendalikan 90% media nasional, menurut kelompok kemerdekaan pers, Reporters without Borders.
Apa yang terjadi di sini memiliki dampak di negara-negara tetangga. Turki adalah negara kelas berat regional, yang menghadapi negara-negara Timur dan Barat. Negeri jiran dan sekutu Nato akan mengawasi dengan seksama.
Banyak analis percaya bahwa kontestasi akan berlangsung dua putaran pada 28 Mei karena kemungkinan tidak ada calon yang bisa memperoleh suara 50% pada putaran pertama.
Kembali ke pemakaman, perubahan tidak bisa datang dengan cepat buat Fethiye, yang terluka oleh kenangan saat mengeluarkan putranya yang meninggal dari reruntuhan - dengan tangan kosong, dan hanya kerabatnya yang bisa menolongnya.
"Turki sudah tamat," katanya. "Kalau Erdogan pergi, Turki akan bangkit."
Sumber: bbc.com
Artikel Terkait
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
Rocky Gerung Sebut Ucapan Selamat Jalan Luhut ke Jokowi Penanda, Penanda Apa?
Pasutri di Sidoarjo Diduga Bekerja Sama Cabuli Siswi SD Penyandang Disabilitas