‘Ancaman kembalinya dwifungsi ABRI’ - Aktivis tolak usulan perluasan prajurit aktif di jabatan sipil dalam revisi UU TNI, Jubir TNI: ‘Mengapa tidak diseminarkan saja?'

- Sabtu, 13 Mei 2023 | 00:30 WIB
‘Ancaman kembalinya dwifungsi ABRI’ - Aktivis tolak usulan perluasan prajurit aktif di jabatan sipil dalam revisi UU TNI, Jubir TNI: ‘Mengapa tidak diseminarkan saja?'

Usulan perluasan posisi bagi tentara aktif di jabatan-jabatan sipil dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), disebut aktivis, berpotensi mengembalikan peran dwifungsi ABRI.

Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) adalah kewenangan yang dimiliki tentara saat Presiden Suharto berkuasa.

Selain menjaga pertahanan, TNI di masa itu juga berperan dalam sektor politik sosial.

Para pimpinan militer kala itu menduduki posisi-posisi sipil seperti bupati, gubernur, menteri hingga jabatan lainnya.

Fungsi tentara seperti itu kemudian disebut aktivis disalahgunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menciptakan "rezim otoriter yang melemahkan demokrasi".

Dalam perkembangannya, Dwifungsi ABRI kemudian dihilangkan setelah Reformasi 1998.

Saat itu tentara dikembalikan ke ‘barak’ untuk memperkuat profesionalisme dan menjalankan tugas utamanya yaitu menjaga kedaulatan serta teritoral negara.

Terkait tudingan itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan, akan lebih ideal jika pro-kontra dalam usulan revisi UU TNI itu untuk diseminarkan, dengan pendekatan "logis faktual dan berlandaskan akademis yang jelas".

Julius mengatakan, draf revisi UU TNI masih menjadi pembahasan di Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI dan belum menjadi rangkuman usulan ke Panglima TNI untuk dilanjutkan ke Kementerian Pertahanan dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Perluasan jabatan tentara aktif di wilayah sipil adalah satu dari beragam perubahan yang diusulkan Markas Besar TNI dalam usulan revisi UU TNI.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menilai perluasan jabatan tentara aktif itu dapat “membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM”.

‘Ancaman kembalinya dwifungsi ABRI’

Dalam UU TNI saat ini, prajurit aktif diizinkan untuk menduduki jabatan di luar instansi militer, yang terbatas di sejumlah kementerian.

Yaitu Kemenko Polhukam, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, dan Badan Siber dan Sandi Negara.

Mereka juga diizinkan aktif di Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan, Badan Narkotika Nasional, serta Mahkamah Agung.

Dalam usulan revisi Pasal 47 ayat 2 UU TNI itu, jabatan prajurit aktif diperluas ke sejumlah kementerian lainnya.

Yakni, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Mereka juga disebutkan dapat menduduki jabatan di Badan Nasional Pengamanan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan kementerian atau lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.

Anggota Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Wahyudi Djafar menyebut, penambahan jabatan-jabatan sipil bagi tentara aktif berpotensi mengembalikan peran dwifungsi ABRI yang telah dihilangkan pascareformasi.

“Ketika mereka ingin menambahkan daftar jabatan sipil, ini seperti ancaman kembalinya dwifungsi ABRI, yaitu fungsi kekaryaan ABRI kembali masuk mengurus masalah politik sipil, itu berbahaya,” kata Wahyudi saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (11/05).

Wahyudi mengingatkan, ketika Dwifungsi ABRI dijalankan pada masa Orde Baru, tentara tidak hanya memiliki tugas dalam bidang pertahanan, namun juga berperan menjaga stabilitas politik dan keamanan.

Saat itu, menurutnya, hampir semua pejabat menengah hingga tinggi, mulai dari bupati, gubernur, menteri dan pejabat-pejabat di kementerian berasal dari militer.

Peran ganda tersebut, kata Wahyudi, menyebabkan tentara menjelma menjadi alat politik bagi Suharto untuk melanggengkan kekuasaan dan mengontrol masyarakat.

“Dwifungsi ABRI ini menyebabkan tentara menjadi penopang kekuasaan Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan yang otoritarian. Dulu kita mengenal ABG [ABRI, Birokrasi dan Golkar].

"Fungsi tentara menjadi sangat politis, yaitu memastikan bagaimana Golkar menang dalam setiap pemilu, lalu menjadi pengawas dan kontrol atas warga negara dengan segala macam batasan,” paparnya.

Untuk itu, kata Wahyudi, kembalinya tentara di posisi-posisi sipil akan berpotensi merusak sistem demokrasi dan kebebasan masyarakat.

“Militer tidak bekerja dalam sistem demokratis, melainkan sistem komando hirarkis. Ketika penyelenggaraan negara melibatkan prajurit aktif, tentu sistem dan fungsi demokrasi itu tidak bekerja secara optimal.

"Sejarah masa lalu telah membuktikan, kenapa kita tidak pernah belajar,” kata Wahyudi yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

‘Kemunduran reformasi militer’

Selain itu, anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Al Araf menyebut usulan revisi UU TNI, seperti perluasan peran prajurit di jabatan sipil, berpotensi menyebabkan kemunduran reformasi militer dan melemahkan profesionalisme tentara.

“Mereka direkrut, dilatih untuk perang. Mereka tidak dipersiapkan menduduki jabatan sipil. Jadi usulan ini adalah kemunduran dalam reformasi militer,” kata Al Araf yang juga Ketua Badan Pengurus Centra Initiative.

Usulan menempatkan tentara di jabatan sipil kata Al Araf juga akan mengembalikan rezim birokrasi militeristik yang berbahaya bagi kehidupan demokrasi Indonesia.

Kapuspen TNI: 'Idealnya, pro-kontranya diseminarkan'

Terkait hal tersebut, Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono meminta agar perbedaan pandangan itu didiskusikan dalam ruang akademis yang objektif.

“Mungkin lebih ideal pro-kontra ini diseminarkan, dengan pendekatan logis faktual landasan akademis [alur pikir] jelas, buka blak-blakan, lihat secara holistik lepas dari kepentingan pribadi kelompok, sekali lagi orientasinya untuk NKRI,” kata Julius.

Julius pun mengatakan, draf revisi UU TNI masih menjadi pembahasan di Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI dan belum menjadi rangkuman usulan ke Panglima TNI untuk dilanjutkan ke Kementerian Pertahanan dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Revisi UU TNI tidak masuk dalam 39 RUU Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2023.

Apa itu Dwifungsi ABRI?

Al Araf menyebut doktrin Dwifungsi ABRI pertama kali digagas oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada pidatonya di ulang tahun Akademi Militer Nasional, November 1958, dengan istilah 'Jalan Tengah'.

Konsep itu disebutnya menempatkan militer sebagai alat pertahanan keamanan negara dan juga berperan dalam kehidupan ideologi, politik, ekonomi hingga sosial.

Doktrin itu kemudian dikukuhkan sebagai kebijakan politik oleh Suharto melalui Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara.

Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 82 itu berbunyi, “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini Angkatan Bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasar Undang Undang Dasar 1945 dalam segala usahadan kegiatan pembangunan nasional.”

Di bawah rezim Suharto, ABRI menduduki jabatan-jabatan sipil secara luas, mulai dari ketua rukun tetangga (RT), kepala daerah, anggota parlemen hingga menteri.

Pascareformasi, TNI mengalami reformasi dan dwifungsi ABRI dihapus. Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun, kecuali pada jabatan terbatas yang telah ditentukan dalam UU TNI.

Perluasan Operasi Militer Selain Perang, ‘dari 14 menjadi 19 jenis’

Selain perluasan jabatan sipil bagi perwira TNI aktif, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga mencatat pasal-pasal lain yang “membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM”.

Wahyudi menyoroti perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam draf revisi UU TNI, terjadi penambahan OMSP dari 14 menjadi 19 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI.

“Selain jabatan sipil, kewenangan TNI dalam OMSP juga daftarnya semakin panjang. Artinya militer akan terlibat di semakin banyak sektor,” kata Wahyudi.

Penambahan kewenangan TNI itu di antaranya meliputi peran menanggulangi ancaman siber, mendukung pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, hingga melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh presiden guna mendukung pembangunan nasional.

“Beberapa penambahan tersebut tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, lalu pendukung pembangunan nasional. Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri,” tulis Koalisi dalam keterangan persnya.

Kewenangan penggunaan kekuatan TNI ‘bukan lagi di tangan presiden’

Koalisi juga menyoroti penghapusan kewenangan presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI dalam revisi UU TNI.

Aturan saat ini menyebut, “Dalam pengerahaan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden”, yang berubah menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah Presiden”.

Penghapusan itu disebut berpotensi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

“Hal ini tentu akan meletakkan fungsi TNI kembali seperti di masa lalu dimana TNI dapat bergerak dalam menghadapai masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden. Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis,” kata Koalisi.

Pidana untuk militer, ‘memperkuat impunitas anggota’

Selain itu, muncul juga usulan perubahan atas Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang".

Dalam usulan terbaru, pasal itu diubah menjadi "Prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum", yang disebut Koalisi, memperkuat impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Perubahan itu juga disebut bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat 4 TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat 2 UU TNI.

“Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum,” kata Koalisi.

Anggaran pertahanan, 'Kemhan dilangkahi'

Rencana revisi UU TNI itu juga meliputi perubahan mekanisme anggaran TNI dan penggunaan yang tidak terbatas untuk bidang pertahanan.

Pertama, revisi UU TNI mengusulkan perubahan pada klausul Pasal 66 ayat 2, dari yang sebelumnya berbunyi "Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Departemen Pertahanan". Aturan ini diusulkan diubah menjadi "Keperluan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan".

Usulan perubahan mekanisme anggaran ini dipertegas pada Pasal 67 yang menyebutkan bahwa “Dalam hal pemenuhan dukungan anggaran TNI, Panglima mengajukan kepada Menteri Pertahanan…” yang kemudian diubah menjadi mengajukan “kepada Menteri Keuangan” untuk dibiayai APBN.

“Dengan adanya perubahan tersebut, Kemhan tidak hanya sekedar dilangkahi kewenangannya, tapi juga menempatkan proses penyusunan anggaran TNI di luar kontrol pemerintah karena TNI dapat mengajukan sendiri dan langsung kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai dalam APBN,” kata Koalisi.

Selain itu, tambah Koalisi, terjadi juga perubahan pada Pasal 66 ayat 1 UU TNI, dari yang saat ini berlaku yaitu “TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” lalu diubah menjadi “TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”.

“Perubahan ini menunjukan akan ada pos anggaran baru bagi TNI di luar anggaran pertahanan. Hak ini akan membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan terjadinya penyimpangan,” ujar Koalisi.

Terkait hal itu, Kapuspen TNI, Laksda Julius menjelaskan, usulan perubahan bertujuan demi tercapainya efisiensi birokrasi.

Julius mengatakan, jalur birokrasi yang singkat akan membuat proses pengadaan lebih efektif, efisien dan lebih mudah dikontrol.

“Saya tidak setuju kalau kemudian dengan usul ini TNI dibilang menolak supremasi sipil. Kementerian Keuangan kan juga sipil. Malah semua jajarannya murni sipil,” kata Julius.

Julius mengatakan, ketika jalur birokrasi melewati banyak instansi, pengalaman selama ini, memunculkan banyak kebijakan politik yang membuat kebutuhan dan persenjataan yang dibeli tidak sesuai.

“Ketika jalur birokrasinya melewati banyak instansi, pengalaman selama ini banyaknya kebijakan politik membuat kebutuhan dan persenjataan yang dibeli tidak sesuai,” kata Julius.

Sumber: bbc.com

Komentar