Hal ini disambut baik oleh pemerintah, beberapa minggu lalu Kementerian Kesehatan telah meluncurkan untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan Republik ini Formularium Fitofarmaka yang menggunakan obat herbal untuk kepentingan pengobatan masyarakat lewat tangan dokter. Singkat kata, obat herbal yang sudah diriset klinis di Indonesia mendapat tempat baik dalam pengobatan masyarakat. Walaupun belum masuk dalam formularium nasional yang dipakai untuk pasien BPJS Kesehatan, formularium fitofarmaka ini sudah dapat diresepkan dokter untuk pasien yang memerlukannya. Dengan kata lain, formularium fitofarmaka ini mengurangi angka importasi bahan baku obat kimia.
Tentunya, pengembangan Green Pharmacy fitofarmaka oleh industri farmasi dan peluncuran formularium fitofarmaka oleh pemerintah, menjadi strategi peningkatan ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan sejalan dengan pilar ketiga transformasi sistem ketahanan kesehatan. Hal ini dilakukan karena industri kesehatan lokal adalah tulang punggung pemberian layanan kesehatan yang dapat mendorong kemandirian sektor farmasi dan kesehatan.
Green Pharmacy merupakan konsep pendekatan ekologis industri farmasi yang memanfaatkan bahan baku dari biodiversitas alam dengan menggunakan teknologi modern, tetapi memiliki proses produksi yang minim dampaknya terhadap lingkungan. Konsep ini diusung sebagai solusi untuk permasalahan ketergantungan impor bahan baku obat kimia di negara-negara G20, termasuk Indonesia yang impor bahan baku farmasinya mencapai 95%.
Dengan biodiversitas alam terbesar kedua di dunia (Indeks Biodiversitas 0,614), Indonesia merupakan rumah untuk setidaknya 30.000 jenis tanaman dan 7.500 jenis tanaman obat sehingga mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan Green Pharmacy fitofarmaka. Konsep Green Pharmacy fitofarmaka didorong sebagai kebijakan bersama.
Pertama, Green Pharmacy dapat melindungi suatu negara dari masalah pasokan, masalah lingkungan, hingga masalah akses kesehatan. Hanya ketika kita menyadari dan mewujudkan agenda ini, negara dapat menjadi mandiri, memiliki sistem lingkungan dan ekologi yang lebih baik, meningkatkan kesejahteraan petani, hingga meningkatkan kemandirian dalam hal bahan baku aktif (API) yang berasal dari negara kita sendiri.
Kedua, sejumlah negara di samping Indonesia, sejumlah negara anggota G20 telah memiliki kiat-kiat sukses. Tiongkok telah menambahkan Traditional Chinese Medicine (TCM) dalam sistem kesehatan nasional sejak 2009. Korea Selatan juga telah memasukan Traditional Korean Medicine (TKM) ke dalam sistem kesehatan nasionalnya. Di India, Kebijakan Nasional tentang sistem pengobatan dan homeopati India dirumuskan pada tahun 2002. Di Jepang, 60-70% dokter meresepkan obat herbal untuk pasien mereka.
Sementara itu, Kantor Regional WHO untuk Amerika (AMOR/PAHO) melaporkan bahwa 71% penduduk Chili dan 40% penduduk Kolombia menggunakan obat tradisional. Bahkan, di kalangan negara maju, obat tradisional sangat populer. Di Jerman, German Commission E Monographs: Therapeutic Guide to Herbal Medicines telah berdiri sejak tahun 1978. Penggunaan obat herbal oleh penduduk di Perancis mencapai 49%, Kanada 70%, Inggris 40%, dan Amerika Serikat 42%.
Walaupun sejumlah negara di atas dengan potensi biodiversitas alam lebih kecil, tetapi mampu memanfaatkannya menjadi kekuatan pengobatan modern, mengapa Indonesia tidak mengupayakannya? Dengan potensi alam yang sangat besar tersebut, sayangnya Indonesia hanya berada di peringkat ke-19 sebagai negara pengekspor biofarmasi, dengan pangsa pasar 0,61% dan nilai ekspor sebesar US$635 juta pada 2020.
Ketiga, kekuatan multiplier effect ekonomi yang ditimbulkan dari Green Pharmacy ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan para petani termasuk UMKM. Beberapa produk hasil Green Pharmacy ini sudah berhasil diekspor ke sejumlah negara tetangga tidak hanya ASEAN, tetapi juga negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada.
Terakhir, Green Pharmacy memberikan dampak ekologis yang kecil dibandingkan dengan penggunaan obat kimiawi sintetis, mulai dari proses produksi sampai ke limbahnya. Pengalaman di beberapa area di India mengatakan bahwa limbah obat hasil sintetik kimiawi dapat mencemari lingkungan sampai ke terjadinya resisten terhadap beberap antibiotika. Tentunya ini membawa masalah kesehatan multiplikasi di mana bila bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika yang sebenarnya adalah limbah obat sebelumnya, pengobatan infeksi akan mengharuskan penggunaan antibiotika yang efikasinya lebih tinggi dan tentunya akan berdampak pada biaya pengobatan yang lebih tinggi.
Dengan membesarnya peluang ekpor, negara banyak diuntungkan dengan membesarnya devisa yang dapat kembali ke negara kita. Lalu seberapa besar potensinya?
Menurut suatu perhitungan yang diberikan oleh salah satu perushaan analisa pasar dunia, the insightSLICE pasar obat herbal global diperkirakan mencapai US$550 miliar. Apabila kita bisa ambil 1% saja dari besaran pasar ini, Indonesia akan mendapatkan pemasukan sekitar US$5,5 milliar yang merupakan hampir sepertiga dari besaran total pasar farmasi Indonesia. Hal ini tentunya juga akan memberikan efek multiplier ekonomi bagi petani dan UMKM untuk memenuhi kebutuhan bahan baku green pharmacy yang akan diekspor. Tentunya, para petani dan usahawan UMKM harus menyediakan lahan untuk pertanian bahan baku obat herbal tersebut.
Dengan besarnya potensi ini, harapannya industri farmasi dapat terus mengembangkan penelitian dan inovasi Green Pharmacy sehingga impor bahan baku dapat terus ditekan dan ketahanan kesehatan global melalui kemandirian farmasi dapat terwujud. Dampak secara langsung, para petani akan juga sejahtera karena pelaku industria membutuhkan pasokan hasil pertanian obat-obatan tersebut.
Sumber: suara.com
Artikel Terkait
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
Rocky Gerung Sebut Ucapan Selamat Jalan Luhut ke Jokowi Penanda, Penanda Apa?
Pasutri di Sidoarjo Diduga Bekerja Sama Cabuli Siswi SD Penyandang Disabilitas