Profesor hubungan internasional di Universitas Indonesia mengatakan bahwa ada hal yang sudah dibesar-besarkan pada agenda tersebut.
"Harapan keberhasilan ini dibesar-besarkan, mengingat kompleksitas perang," kata Hikmahanto Juwana kepada DW.
Hikmahanto menggarisbawahi bahwa dengan bujukan yang cukup dan pendekatan yang tepat, Putin dapat dibujuk untuk menyutujui gencatan senjata.
"Menurut saya, baik Rusia maupun Ukraina sudah lelah perang, terutama Moskow yang memulai agresi. Banyak uang telah dihabiskan, banyak tentara tewas," katanya.
Terlepas dari kerugian besar Moskow, lanjut sang profesor, Putin tidak akan mengumumkan penghentian perang secara tiba-tiba.
Langkah gencatan senjata seperti itu akan membutuhkan pihak ketiga untuk mendekati dan membujuknya.
Perjalanan Jokowi ke Ukraina dan Rusia berlangsung setelah ia menghadiri KTT G7 di Jerman.
Jokowi menekankan perlunya menghentikan perang Rusia-Ukraina dan mengatasi krisis pangan dan energi yang ditimbulkannya di seluruh dunia, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan berkembang.
Menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Program Pangan Dunia pada bulan Juni, sekitar 345 juta orang di 82 negara menghadapi kerawanan pangan akut karena melonjaknya harga pangan, bahan bakar dan pupuk.
Sebelum perang, Ukraina juga merupakan salah satu pemasok gandum terbesar Indonesia.
Masyarakat Indonesia, pada umumnya, tampaknya mendukung inisiatif Jokowi untuk bertemu dengan kedua pemimpin tersebut. Banyak yang bahkan mengharapkan dia untuk berperan sebagai mediator.
Sumber: jpnn.com
Artikel Terkait
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
Rocky Gerung Sebut Ucapan Selamat Jalan Luhut ke Jokowi Penanda, Penanda Apa?
Pasutri di Sidoarjo Diduga Bekerja Sama Cabuli Siswi SD Penyandang Disabilitas