Dia memaparkan, dalam jangka menengah pemerintah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca dalam kerangka komitmen yang telah ditetapkan sebesar 29 persen dengan upaya sendiri 41 persen pada tahun 2030.
Sementara dalam jangka panjang, kata Febrio, pemerintah menetapkan strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim di tahun 2050 dengan target emisi nol bersih pada pada tahun 2060.
"Pemerintah memiliki target mitigasi perubahan iklim yang jelas dalam jangka pendek hingga panjang. Untuk mencapai berbagai komitmen tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya yang dibutuhkan, termasuk melalui bauran kebijakan. Upaya ini juga terus diakselerasi untuk dapat mencapai target penanggulangan perubahan iklim lebih cepat," kata Febrio dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/6/2022).
Dia juga memaparkan, pemerintah tengah menggunakan skema belanja pemerintah maupun sumber pendanaan lainnya. Hal tersebut dilakukan, kata Febrio, untuk mendorong penguatan kapasitas pendanaan terkait iklim.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), pungutan atas karbon termasuk di dalamnya. DPR juga menerbitkan UU No.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
"Saat ini, fokus utama pemerintah adalah menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global yang salah satunya adalah peningkatan harga komoditas energi dan pangan global seiring terjadinya perang di Ukraina yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik," katanya.
Dengan demikian, kata Febrio, pemerintah memprioritaskan fungsi APBN untuk memastikan ketersediaan dan stabilitas harga energi dan pangan dalam negeri, termasuk di dalamnya memberikan subsidi yang melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga.
Menurut Febrio, APBN sebagai peredam guncangan dinilai sebagai instrumen sentral dalam menjaga dan melindungi perekonomian dari dampak kenaikan harga pangan dan energi.
Dia mengatakan bahwa pemerintah juga tetap berupaya mematangkan peraturan pendukung pemberlakuan pajak karbon. Febrio juga mengatakan hal tersebut dilakukan bersama dengan seluruh pihak terkait, termasuk Kemenkeu.
Selain itu, proses penyempurnaan peraturan pendukung tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh aspek terkait, termasuk pengembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.
Sementara itu, kata Febrio, sebab proses pematangan skema pasar karbon termasuk peraturan teknisnya gang didukung oleh Pajak Karbon belum bisa direalisasikan. Atas dasar itu pemerintah menunda pemberlakuan Pajak Karbon yang semula akan diterapkan pada Juli 2022.
Kendati demikian, Febrio mengatakan bahwa Pajak Karbon tetap dikenakan pada bidang PLTU batu bara dengan mekanisme pajak yang berlaku. Dia juga menerangkan bahwa penetapan Pajak Karbon guna mendorong pelaku ekonomi berpindah ke aktivitas ekonomi hijau yang dinilai rendah karbon.
Pemerintah juga tetap menjadikan penerapan Pajak Karbon pada tahun 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20.
"Termasuk bagian dari deliverables ini, Pemerintah juga mendorong aksi-aksi mitigasi perubahan iklim lainnya, di antaranya melalui mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) yang di satu sisi memensiunkan dini PLTU Batubara (phasing down coal) dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya," tutup Febrio.
Sumber: suara.com
Artikel Terkait
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
Rocky Gerung Sebut Ucapan Selamat Jalan Luhut ke Jokowi Penanda, Penanda Apa?
Pasutri di Sidoarjo Diduga Bekerja Sama Cabuli Siswi SD Penyandang Disabilitas