"PLN jangan hanya mengandalkan kenaikan tarif listrik pelanggan rumah tangga untuk memperbaiki kinerja layanan dan keuangannya. Namun yang utama wajib untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi operasionalnya, sehingga biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN menurun. Kalau ini terjadi, maka bukan hanya PLN yang diuntungkan, tetapi juga masyarakat pelanggan listrik," kata Mulyanto dalam keterangan yang diterima.
Salah satu yang dapat diperhatikan dan dilakukan adalah penurunan surplus listrik PLN, terkhusus di Jawa dan Sumatera. Sebab, adanya klausul TOP (take or pay) atau "pakai atau tidak pakai, bayar" dalam kontrak yang ada, menyebabkan beban bayar PLN menjadi bertambah.
"Semakin besar surplus listrik tersebut, maka semakin besar beban PLN. Ditambah lagi dengan mulai beroperasinya PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) baru hasil program 35 ribu MWe, maka praktis akan menambah angka surplus listrik dan menjadi semakin menghimpit PLN," ujar Mulyanto.
Mulyanto menambahkan, PLN harus mengambil sikap tegas agar pihak listrik swasta (Independent power producer) untuk mengerem bertambahnya surplus listrik dari PLTU baru. Tak hanya itu, masukan dari Mulyanto dapat berupa efisiensi operasi PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel). Walaupun dari segi jumlah daya, kontribusi PLTD tidak seberapa besar, namun perannya dalam BPP listrik PLN cukup signifikan.
Terlebih lagi kala harga minyak dunia melambung, beban dari PLTD juga ikut menanjak. Berbeda dengan PLTU, meskipun harga batubara dunia sedang tinggi, dengan berlakunya DMO (domestic market obligation), harga batubara untuk PLN dipatok tetap pada harga USD 70 per ton.
"Karenanya, di tengah harga migas yang tinggi, pembangkit disesel ini harus segera dikonversi dengan listrik dari sumber EBT (energi baru terbarukan) dalam menekan BPP listrik PLN," ucap Wakil Ketua FPKS DPR RI ini.
Mulyanto juga meminta pertimbangan pemerintah untuk menaikan tarif bagi golongan bisnis dan industri tertentu. Meski jumlahnyanya sedikit, justru kelompok pelanggan ini yang memberikan pendapatan dominan bagi PLN.
Sebagai informasi, kata Mulyanto, di Malaysia, tarif kelompok pelanggan bisnis dan industri lebih mahal dibandingkan dengan tarif untuk kelompok pelanggan rumah tangga. Kebalikannya di Indonesia.
Dari data Globalpetrolprice.com (13/6/2022) tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga di Malaysia sebesar USD 50 sen/kWh, dimana tarif untuk pelanggan bisnis sebesar USD 88 sen/kWh.
Sementara tarif listrik untuk rumah tangga di Indonesia adalah sebesar USD100 sen/kWh, dimana tarif untuk pelanggan bisnis sebesar USD 77 sen/kWh.
Sumber: repjogja.republika.co.id
Artikel Terkait
Bukan Mobil atau Motor, Pria Ini Naik Babi Terobos Banjir
Memaksa Bendera Pusaka Berkibar di IKN
Bahlil dan Agus Kartasasmita Diduga Punya Masalah yang Mirip Airlangga Hartarto
Rocky Gerung Sebut Ucapan Selamat Jalan Luhut ke Jokowi Penanda, Penanda Apa?