Saat Serdik Polri Pilih Sowan ke Jokowi: Apa Kabar Arah Reformasi Polisi?

- Selasa, 22 April 2025 | 11:30 WIB
Saat Serdik Polri Pilih Sowan ke Jokowi: Apa Kabar Arah Reformasi Polisi?




POLHUKAM.ID - Kunjungan peserta didik sekolah staf dan pimpinan menengah atau Serdik Sespimmen Polri ke rumah Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Solo, Jawa Tengah menuai kritik. 


Selain dipertanyakan urgensinya, ketidakmampuan calon pimpinan Polri menjaga jarak dengan elite dikhawatirkan akan semakin membuat institusi kepolisian terjebak sebagai alat politik kekuasaan. 


Kunjungan para siswa didik (Serdik) Sespimmen Polri Dikreg ke-65 ke kediaman Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, berlangsung pada Kamis, 17 April 2025. 


Momen itu sempat diunggah lewat akun Instagram resmi @Sespimmen65 dalam bentuk video.


Namun, unggahan tersebut kini telah dihapus. Diduga, langkah itu diambil setelah muncul reaksi negatif dari publik.


Dalam video yang beredar, terlihat salah satu peserta yang hadir adalah Kompol Syarif Muhammad Fitriansyah. 


Ia bukan sosok asing. Perwira lulusan Akpol 2012 itu diketahui menjabat sebagai ajudan Presiden Jokowi.




Perwira Penuntun (Patun) Pokjar II Serdik Sespimmen, Kombes Denny, menyebut kunjungan tersebut hanya sebatas silaturahmi.


“Bersilaturahmi dengan Bapak Jokowi, sekalian meminta masukan,” ujarnya usai pertemuan.


Menurut Denny, mereka meminta pandangan Jokowi soal tantangan Polri di era digital. Mulai dari kecerdasan buatan (AI), robotik, hingga sinergi dengan TNI.


“Intinya beliau berpesan agar Polri dan TNI ke depan bisa lebih baik, dicintai masyarakat, dan menjadi panutan,” jelasnya.


Namun, tak semua pihak melihat kunjungan itu wajar. Pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, menilai pertemuan ini berpotensi menimbulkan asumsi liar. Ia mempertanyakan urgensinya.


“Tradisi seperti itu tak lazim. Belum pernah terlihat siswa Sespim mendatangi mantan presiden lain,” kata Bambang.


Ia juga menyoroti risiko politisasi. Menurutnya, sikap Serdik yang tidak menjaga jarak dari elite bisa membuat mereka terseret dalam pusaran kekuasaan.


“Ini buah dari kultur di tubuh Polri sendiri. Di mana pendekatan politik ke penguasa sering jadi jalan untuk mengincar jabatan,” tegasnya.


“Mereka tak bisa membedakan posisi Polri sebagai aparatur negara, bagian pemerintah, atau bagian politik rezim. Dan itu diteruskan pada junior-juniornya yang masih menjalani Sespimmen seperti yang terjadi saat ini,” ungkapnya. 


Tradisi “sowan”, kata Bambang, memang lazim terjadi di tengah masyarakat yang masih feodal. 


Namun hal itu menurut tidak elok dilakukan Serdik Sespimmen Polri selaku peserta akademik yang mengedepankan kesetaraan dan pendekatan ilmiah.


“Akan lebih elok bila Serdik Sespimmen Polri ini berkunjung pada senior pimpinan Polri,” jelasnya. 




Bambang Rukminto, mengkritik keras kunjungan Serdik Sespimmen Polri ke rumah Jokowi. 


Ia menilai tindakan itu menunjukkan ketidakmampuan menjaga jarak dari elite politik.


Menurutnya, sikap seperti itu bisa membuat para perwira muda terseret dalam arus politik kekuasaan.


“Ini bukan soal etika saja. Tapi soal posisi dan peran institusi,” kata Bambang.


Ia menilai kultur semacam ini tumbuh dari level petinggi Polri. Banyak yang melakukan pendekatan ke penguasa demi jabatan.


“Mereka tak bisa membedakan posisi Polri. Apakah sebagai aparatur negara, bagian dari pemerintah, atau alat politik rezim,” ujarnya.


Masalahnya, pola ini terus diwariskan ke junior-juniornya. Termasuk para peserta Sespimmen saat ini.


Bambang menyebut tradisi “sowan” memang masih umum di masyarakat yang feodal. 


Namun, ia menilai pendekatan seperti itu tidak pantas dilakukan oleh peserta pendidikan yang seharusnya menjunjung nilai ilmiah dan kesetaraan.


“Akan lebih elok jika para Serdik ini menemui senior-senior Polri. Bukan justru mendatangi tokoh politik,” tegasnya.


Alat Politik Kekuasaan


Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, sepakat dengan kritik ISESS. 


Ia menilai, daripada menemui Jokowi, para Serdik Sespimmen Polri seharusnya datang ke lembaga yang lebih relevan—seperti Komnas HAM atau Ombudsman RI.


“Bukan minta saran ke tokoh politik. Tapi ke lembaga yang punya data dan pengalaman soal masalah dalam tubuh Polri,” ujar Arif.


Data Komnas HAM membuktikan itu. Sepanjang 2024, Polri tercatat sebagai institusi paling banyak diadukan atas dugaan pelanggaran HAM. Jumlahnya mencapai 663 laporan dari total 2.305.


Tak hanya itu. Ombudsman juga mencatat Polri sebagai salah satu lembaga paling sering dilaporkan terkait praktik maladministrasi dalam beberapa tahun terakhir.


Menurut Arif, perwira menengah Polri yang tengah menempuh pendidikan penting untuk memahami akar masalah ini. Dari sana mereka bisa belajar memperbaiki lembaganya sendiri.


“Apalagi kepercayaan publik terhadap Polri terus merosot. Harusnya ini jadi refleksi serius,” tegasnya.


Ia menambahkan, kunjungan ke Jokowi bukan cuma tidak pantas. Tapi juga melanggar TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 yang menegaskan bahwa Polri harus netral dan tidak terlibat politik praktis.


“Ini bentuk kegagalan reformasi kepolisian. Dan itu makin terang benderang,” kata Arif.


Kegagalan itu, menurutnya, juga tak lepas dari pemerintahan Jokowi. Banyak perwira tinggi Polri ditarik masuk ke jabatan-jabatan sipil. Praktik ini kemudian diteruskan oleh Prabowo, yang mulai melibatkan TNI dalam struktur sipil.


“Saya kira ini berbahaya kalau kemudian dibiarkan. Harus ada evaluasi dan dorongan untuk kembali mendesak reformasi kepolisian dan TNI karena ini sudah jauh keluar dari relnya,” jelas Arif.


Ancam Wibawa Prabowo 


Sedangkan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menilai intensitas Jokowi menerima kunjungan menteri hingga Serdik Sespimmen Polri dapat meruntuhkan wibawa Prabowo sebagai presiden. Selain juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. 


“Semuanya seharusnya lebih intens kepada Presiden Prabowo, bukan kepada Jokowi,” kata Dedi.


Jokowi, kata Dedi, semestinya bisa menahan diri dan menghormati wibawa Prabowo sebagai presiden. 


Bukan justru terkesan ‘memfestivalisasi’ kunjungan elite hingga Serdik Sespimmen Polri tersebut demi menunjukkan dirinya masih memiliki pengaruh. 


“Jangan sampai ini membuat kecurigaan publik bahwa Jokowi yang melakukan festivalisasi kunjungan-kunjungan semacam ini. Artinya ada semacam post power syndrome,” tuturnya. 


Sementara mantan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai kunjungan Serdik Sespimmen Polri ke rumah Jokowi dalam rangka si dan diskusi sebagai hal yang wajar. Sehingga hal itu tidak perlu disikapi terlalu sensitif dan penuh prasangka.


Sebagai calon pemimpin Polri di masa depan, Poengky menyebut Serdik Sespimmen Polri itu wajib menggali ilmu sekaligus pengalaman kepada masyarakat, serta tokoh yang dianggap dapat memberikan ilmunya. Termasuk Jokowi sebagai tokoh yang pernah memimpin bangsa ini. 


“Ketika saya dulu masih aktif di LSM Imparsial yang fokus di bidang Hak Asasi Manusia dan Reformasi Sektor Keamanan, kami juga menerima kunjungan peserta didik Sespimmen dan Sespimti, dan berdiskusi kritis dengan mereka," jelas Poengky. 


Sumber: Suara

Komentar