POLHUKAM.ID - Pengamat Kebijakan Publik Gigin Praginanto menyoroti semakin dominannya peran militer dan polisi dalam pemerintahan.
Dikatakan Gigin, jika militer dan polisi menguasai semua kursi strategis di pemerintahan, Indonesia tinggal selangkah lagi menuju presiden seumur hidup.
"Tinggal selangkah lagi menuju presiden seumur hidup. Campur aduk pekerjaan militer dan sipil membuat wajah Indonesia makin suram dan ruwet," ujar Gigin di X @giginpraginanto (22/3/2025).
Gigin menambahkan bahwa supremasi militer semakin mencolok dalam proses revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Gigin juga mengkritik ocehan tentang efisiensi anggaran sambil memboroskan keuangan negara.
"Negara-negara tetangga ngakak melihat hal ini," katanya.
Lanjut Gigin, Prabowo Subianto, yang saat ini menjabat sebagai Presiden, memilih untuk mempercepat militerisasi dan polisinisasi pemerintahan secara bersamaan.
"Sipil cukup menjadi pemain pembantu atau pelengkap penderita," tukasnya.
Dampak dari kebijakan ini, menurut Gigin, adalah kaburnya investor ke negara tetangga.
"Investor pun memilih kabur ke negara tetangga. Kasihan Indonesia," tambahnya.
Gigin menegaskan bahwa dominasi militer dan polisi dalam pemerintahan tidak hanya merugikan dari segi ekonomi, tetapi juga mengancam demokrasi dan prinsip-prinsip good governance.
👇👇
Campur aduk pekerjaan militer dan sipil membuat wajah Indonesia makin suram dan ruwet. Apalagi supremasi militer makin mencolok dalam proses revisi UU TNI, ditambah dengan ocehan tentang efisiensi anggaran sambil memboroskan keuangan negara. Negara-negara tetangga ngakak.
— gigin praginanto (@giginpraginanto) March 22, 2025
Prabowo memilih mempercepat militerisasi dan polisinisasi pemerintahan secara bersamaan. Sipil cukup menjadi pemain pembantu atau pelengkap penderita. Investor pun memilih kabur ke negara tetangga. Kasihan Indonesia.
— gigin praginanto (@giginpraginanto) March 22, 2025
Kalau militer dan polisi menguasai semua kursi strategis di pemerintahan. Tinggal selangkah lagi menuju presiden seumur hidup.
— gigin praginanto (@giginpraginanto) March 22, 2025
Sebelumnya, setelah melalui sejumlah polemik dalam perjalanan pembahasannya, DPR RI akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi undang-undang.
Keputusan ini diambil dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.
Sejumlah menteri Kabinet Merah Putih juga tampak menghadiri rapat paripurna.
Diantaranya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi serta Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono.
Pengambilan keputusan itu merupakan tahapan pembicaraan tingkat II dalam proses legislasi, setelah RUU tersebut disetujui dalam pembicaraan tingkat I oleh Komisi I DPR RI yang membidangi urusan keamanan, pertahanan, dan informasi digital.
Ketua Panja RUU TNI, Utut Adianto pun menyampaikan laporan pembahasan RUU TNI.
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menegaskan bahwa revisi UU TNI mencerminkan komitmen kuat terhadap profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara yang tidak berpolitik dan tidak berbisnis.
Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perubahan pada Pasal 2 butir d yang menegaskan jati diri TNI sebagai tentara profesional.
Selain itu, Pasal 39 tetap melarang prajurit aktif untuk berpolitik praktis, menjadi anggota partai politik, berbisnis, serta mengikuti pemilu.
"DPR dan pemerintah juga sepakat mempertahankan Pasal 47 ayat 1 yang mewajibkan prajurit aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk mengundurkan diri atau pensiun. Artinya, aturan ini tetap konsisten melarang dwifungsi TNI," ujar Hasanuddin.
Menurutnya, kekhawatiran publik mengenai ekspansi militer dalam jabatan sipil juga tidak beralasan.
Justru, revisi UU TNI memperketat aturan dengan melakukan limitasi terhadap instansi yang dapat diisi prajurit aktif.
"Penambahan lima institusi dalam Pasal 42 ayat 2 bukanlah bentuk ekspansi, melainkan pembatasan terhadap pos-pos yang dapat diisi prajurit aktif," imbuhnya.
"Lima institusi tersebut, yakni pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung, memang memiliki keterkaitan dengan sektor pertahanan dan kemampuan teknis kemiliteran," kuncinya.
Sumber: Fajar
Artikel Terkait
Jangan Mau Dikelabui Demo Mahasiswa Yang Digerakkan Asing: Mengenal 5 Sosok Asing di Jajaran Danantara
Ogah Dicap Antikritik, Pesan Prabowo ke Menteri di Kabinet: Jangan Sampai Kita Dapat Berita Jelek!
Banyak Kursi Kosong! Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang Cuma Dihadiri 248 dari 580 Anggota DPR RI, Pada Kemana?
Komisi III DPR Desak Penegak Hukum Tetapkan Tersangka Pembunuh 3 Polisi di Lampung