RUU TNI Izinkan Militer Jadi Jaksa Agung, Sejarah Kelam Terulang?

- Selasa, 18 Maret 2025 | 20:10 WIB
RUU TNI Izinkan Militer Jadi Jaksa Agung, Sejarah Kelam Terulang?




POLHUKAM.ID - DPR RI dan pemerintah mengusulkan menambah enam pos kementerian dan lembaga yang dapat diduduki prajurit aktif dalam Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. 


Salah satunya adalah Kejaksaan Agung RI. RUU TNI ini menuai kritik keras dari kalangan masyarakat sipil karena dinilai akan mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme.


DIREKTUR Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif dalam RUU TNI ini berbahaya. 


Salah satunya karena bisa menjadi celah bagi pemerintah untuk menempatkan anggota TNI aktif sebagai Jaksa Agung RI. 


Seperti Kepala Basarnas dan Kepala BNPT. Meskipun Wakil Ketua DPR RI Sufmi Ahmad Dasco mengklaim prajurit TNI aktif hanya akan menjabat Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer atau Jampidmil.


“Tidak ada tafsir atau penjelasan resmi terkait hal tersebut. Karena itu sangat mungkin jabatan Jaksa Agung bisa ditempati oleh militer aktif seperti Kepala Basarnas dan kepala BNPT,” kata Ardi, Senin (17/3/2024).


Berdasar catatan di masa pemerintahan Presiden B.J Habibie, Jaksa Agung RI pernah dijabat oleh anggota TNI aktif, Letjen Andi Muhammad Ghalib. 


Jenderal TNI bintang tiga itu sempat dituding Indonesia Corruption Watch (ICW) menerima uang ratusan juta terkait penanganan perkara bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ghalib lalu dinonaktifkan sebagai Jaksa Agung RI pada Juni 1999.


Sementara Ardi menilai penambahan Kejaksaan Agung RI sebagai lembaga yang bisa dijabat anggota TNI aktif sangat tidak tepat. 


Sebab fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara. Sementara Kejaksaan Agung RI merupakan lembaga penegak hukum.


Imparsial sejak awal bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga telah menolak pembentukan Jampidmil. 


Terlebih Jampidmil hanya menangani perkara koneksitas yang sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc gabungan Kejaksaan Agung RI dan oditur militer.


Selain itu peradilan koneksitas selama ini dinilai bermasalah karena seringkali menjadi sarana impunitas. 


Alih-alih memperluas jabatan anggota TNI aktif di Kejaksaan Agung RI, Ardi memandang peradilan koneksitas itu seharusnya dihapus. 


Sebab militer yang terlibat tindak pidana umum seperti masyarakat sipil semestinya tunduk dalam peradilan umum.


“Penambahan jabatan sipil di Kejagung sebagaimana dimaksud dalam RUU TNI tidak tepat, termasuk keberadaan Jampidmil,” jelas Ardi.


Dalam Pasal 47 Ayat 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI prajurit aktif awalnya hanya dapat menduduki 10 jabatan sipi di kementerian dan lembaga. 


Di antaranya yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.


Lewat RUU TNI, DPR RI dan pemerintah lalu mengusulkan menambah enam pos kementerian dan lembaga yang dapat diisi prajurit aktif. 


Keenam kementerian dan lembaga tersebut, yakni; Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung RI.


Ardi mengatakan DPR RI dan pemerintah seharusnya mempersempit, membatasi dan mengurangi keterlibatan anggota TNI aktif dalam jabatan sipil. 


Bukan justru semakin memperluas jabatan tersebut yang berpotensi kembali menghidupkan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia.


“Jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 Ayat 2 UU TNI itu dikurangi bukan malah ditambah,” ujarnya.


Konflik Kepentingan


Pengajar hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah Castro sependapat dengan Imparsial. 


Menurutnya RUU TNI yang memperluas wewenang anggota TNI aktif dapat menjabat posisi di Kejaksaan Agung RI sebagai produk akal-akalan pemerintah.


Castro menilai anggota TNI sejak awal dididik sebagai prajurit pertahanan negara. Sehingga mereka tidak memiliki kompetensi untuk menjadi jaksa.


“Jadi sangat tidak rasional, ini hanya akal-akalan memberikan atau melapangkan jalan militer untuk menempati pos-pos jabatan di luar kompetensinya,” ungkap Castro.


Alih-alih memperluas jabatan sipil yang bisa diisi anggota TNI aktif, Castro menilai DPR RI dan pemerintah seharusnya mereformasi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 


Sehingga anggota TNI yang terlibat atau melakukan tindak pidana dapat diadili lewat mekanisme peradilan umum.


Sementara memperluas wewenang anggota TNI aktif bisa menjabat di Kejaksaan Agung hanya akan semakin memicu terjadinya konflik kepentingan. Apalagi jika sampai menjabat Jaksa Agung ataupun Jampidmil.


“Paling berbahaya sebenarnya ketika militer masuk dalam jabatan jabatan seperti Jaksa Agung dan Jampidmil itu. Jaksa tidak lagi menjadi pengacara negara tapi menjadi pengacara militer, karena kepentingan yang dibawa adalah kepentingan militer. Sehingga mustahil kemudian akan menyasar golongannya sendiri,” tuturnya.


Sedangkan Ketua Panitia Kerja atau Panja RUU TNI, Utut Adianto membantah RUU TNI sebagai upaya mengembalikan dwifungsi TNI. 


Dia justru mengklaim lewat perubahan tersebut DPR RI dan pemerintah semakin membatasi peran TNI di ranah sipil.


“Saya juga sudah kali-kali bicarakan, justru ini melimitasi," kata Utut di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/3).


Bantahan serupa disampaikan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi. 


Dia mengklaim RUU TNI justru memperkuat peran TNI dalam melindungi kedaulatan negara dan menyelesaikan tantangan dan permasalahan yang ada.


“Jadi, tolonglah untuk tidak mengeluarkan statement-statement yang seolah-olah akan kembali ada dwifungsi ABRI, tidak begitu,” katanya.


Sumber: Suara

Komentar