Pemilu Dipastikan Curang, Tagar Siaga Indonesia Menggema

- Senin, 15 Januari 2024 | 18:31 WIB
Pemilu Dipastikan Curang, Tagar Siaga Indonesia Menggema

JAKARTA, polhukam.id - Suara keprihatinan dan kegelisahan dari berbagai kalangan terus mengemuka terkait kondisi sosial, politik, ekonomi, dan demokrasi di Indonesia.

Tokoh-tokoh nasional, mulai dari purnawirawan TNI, politisi, hingga pengamat politik, turut bersuara, menyuarakan keinginan agar rezim Jokowi berakhir.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, dalam sebuah diskusi publik bertema "Selamatkan Pemilu yang Demokratis," mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Menurutnya, solusi terbaik adalah kekuatan rakyat untuk menuntut pertanggungjawaban presiden.

"People power itu tidak dilarang," ujar Abraham, sambil mengingatkan bahwa kekuatan rakyat bisa menjadi kekuatan besar untuk menyuarakan aspirasi.

Diskusi tersebut, yang dihadiri oleh sejumlah pembicara seperti Dr. Ikrar Nusa Bhakti, Ubedilah Badrun, dan Ishak Rafick, dipandu oleh Hersubeno Arief dari FNN pada Sabtu (13/01/2024).

Dalam diskusi itu, Abraham Samad juga berbagi pengalaman pertemuannya dengan Najib Razak di Malaysia.

Dalam pertemuan tersebut, Najib memberikan pandangannya tentang pengelolaan sumber daya alam, yang menurutnya hanya bisa dilakukan oleh bumi putera.

Abraham menegaskan bahwa Indonesia harus belajar dari pengalaman Malaysia dalam melindungi kepentingan pribumi.

Namun, Abraham menyayangkan bahwa di Indonesia, pengelolaan sumber daya alam dipegang oleh oligarki tanpa melibatkan pribumi.

Menurutnya, rezim sekarang harus segera berakhir karena kemiskinan tidak hanya nasib, melainkan juga akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil.

Purnawirawan TNI Setyo Sularso dari Jogjakarta turut menyuarakan ketidakpuasannya terhadap kepemimpinan saat ini. Ia merasa seperti tidak dipimpin oleh bangsa sendiri, melainkan oleh oligarki atau special interest group (SIG).

Menurutnya, rezim sekarang membuat negara seperti pemangku negara baru, di mana presiden bisa berasal dari berbagai latar belakang, asal menjadi WNI.

"Saat ini kita tengah merasakan benturan peradaban antara Reog dan Barongsai," ungkap Setyo Sularso, mencerminkan kekhawatiran akan perpecahan dalam masyarakat.

Artikel ini telah lebih dulu tayang di: paradapos.com

Komentar