Mengapa Usulan Wapres Gibran Diganti Sangat Sulit Dilakukan: 'Prabowo Masih Memerlukan Jokowi?'
Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan agar Gibran Rakabuming Raka dicopot dari jabatan sebagai wakil presiden (wapres). Mengapa analis hukum dan politik menganggap langkah itu "sangat-sangat sulit" dilakukan?
Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti mengatakan, landasan pelanggaran hukum untuk melakukan pemakzulan ke putra sulung Presiden Ke-7 Joko Widodo itu menurutnya masih lemah, termasuk jika menggunakan alasan perubahan aturan batas usia yang melanggengkan Gibran menjadi cawapres.
"Gibran itu berdua sama Prabowo dalam setiap proses pilpres lalu. Jadi enggak mungkin Gibran saja dianggap salah…Kecuali kalau misalnya nih, Gibran tertangkap sendirian melakukan perbuatan tercela, misalnya mabuk, atau misalnya dia korupsi sendirian, itu baru kuat, tapi lagi-lagi itu juga tidak mudah," kata Bivitri ke BBC News Indonesia, Senin (28/04).
Dari sisi politik, pengamat politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor pun melihat peluang pemakzulan Gibran sangat kecil.
"Prabowo itu masih melihat Jokowi sebagai satu elemen penting dalam dunia politik yang tidak bisa dia tinggalkan, manakala dia ingin nyaman dan langgeng berkuasa," kata Firman.
Sebelumnya, Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencopot Gibran dari jabatan orang nomor dua di Indonesia.
Mereka memandang keputusan MK tentang Pasal 169 UU Pemilu, yang membuat Gibran dapat menjadi cawapres, telah melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Menanggapi sikap Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu, Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto mengatakan Presiden Prabowo tidak dapat memberikan respons secara spontan atas usulan itu karena perlu mempelajari secara cermat isi dari setiap poin yang diajukan.
'Sangat-sangat sulit' dari sisi tata negara
Pemberhentian presiden dan atau wakil presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 7A dalam UUD menjelaskan pemberhentian dapat dilakukan apabila mereka "terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden."
Berkaca pada alasan itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai sulit mencari rujukan atau landasan pelanggaran hukum yang bisa digunakan untuk memakzulkan Gibran.
"Kalau acuannya apa yang terjadi waktu pilpres. MK telah memutuskan tidak ada pelanggaran hukum di situ [sengketa pilpres]," kata Bivitri.
Dia juga mengatakan adanya pelanggaran etika dalam putusan MK Nomor 90 tentang batas usia yang melanggengkan Gibran menjadi cawapres juga masih lemah. "Itu kan putusannya pelanggaran etika, bukan hukum."
Selain itu Bivitri juga menegaskan bahwa dalam setiap proses pilpres lalu, Gibran merupakan pasangan Prabowo. "Jadi enggak mungkin Gibran saja dianggap salah. Jadi enggak bisa dipisahkan [mereka] kalau rujukannya Putusan 90, putusan MK [sengketa], dan hal-hal yang terkait pencalonan pilpres," katanya.
"Kecuali kalau misalnya nih, Gibran tertangkap sendirian melakukan perbuatan tercela, misalnya mabuk, atau misalnya dia korupsi sendirian, itu baru kuat, tapi lagi-lagi itu juga tidak mudah," tambahnya.
Selain itu, kata Bivitri, proses pemakzulan yang rinci dan panjang pun membuat hal itu menjadi hampir mustahil terjadi.
Pasal 7B UUD 1945 menjelaskan bahwa DPR harus mengajukan permintaan ke MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa presiden atau wapres telah melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau tak lagi memenuhi syarat.
Permintaan ini dapat diajukan ke MK jika mendapat dukungan dan sidang paripurna dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Jika MK memutuskan terjadinya pelanggaran itu lalu DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian ke MPR.
Terakhir, MPR mengambil keputusan yang harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾ jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Proses itu, kata Bivitri, harus melewati negosiasi politik yang rumit dan menantang, apalagi tujuh dari delapan fraksi di DPR merupakan koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Sangat-sangat sulit. Kecuali kalau memang fraksi yang dikuasai Prabowo itu kompak. Tapi kan guncangan politik ini pasti enggak main-main, mereka akan hitung-hitungan di situ," kata Bivitri.
Selain dalam konteks pilpres, pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar memandang sebenarnya Gibran dapat dikaitkan dengan sejumlah isu yang pernah menerpanya.
"Lebih baik DPR memulai dengan, silakan misalnya kalau Gibran dianggap tidak memenuhi syarat sebagai wapres, kan barang kali sempat heboh-heboh soal ijazah, silakan kalau memang ditemukan bukti yang kuat soal itu."
"Kalau misal perbuatan tercela, silakan apakah konteks Fufufafa, betulkan dia yang melakukan, silakan itu dielaborasi. Lalu kalau bentuk pidananya misalnya, Ubedilah pernah lapor Gibran ke KPK."
"Kalau masing-masing itu bisa dibuktikan secara hukum, saya kira bisa dilanjutkan ke proses impeachment melalui DPR. Tapi tanpa pembuktian, tiba-tiba melompat pada kesimpulan bahwa impeachment harus dilakukan, menurut saya itu tidak tepat."
Bagaimana dari sisi politik?
Senada, pengamat politik BRIN Firman Noor juga melihat bahwa Prabowo tidak mungkin bergerak atau menindaklanjuti usulan dari Forum Purnawirawan TNI itu.
Analisis dia karena Prabowo masih memerlukan Jokowi.
"Prabowo itu masih melihat Jokowi sebagai satu elemen penting dalam dunia politik yang tidak bisa dia tinggalkan, manakala dia ingin nyaman dan langgeng berkuasa," kata Firman.
Selain itu, kata Firman, loyalis Jokowi pun masih banyak di posisi-posisi strategis kekuasaan sehingga upaya untuk melepaskan Jokowi akan membuat posisi Prabowo menjadi lemah.
"Dan dia juga masih merasa berterima kasih dengan Jokowi. Jadi upaya untuk mendongkel Jokowi melalui anaknya seperti yang diharapkan oleh purnawirawan itu masih jauh dari hitung-hitungan Prabowo dan saya yakin tidak akan di-follow up."
Jika 'sangat sulit' Gibran diganti, lalu apa pesan yang tersirat?
Firman melihat usulan pemakzulan itu sebagai ekspresi kekecewaan atas kapasitas Gibran yang dipandang masih jauh dibandingkan wapres sebelumnya, seperti Muhammad Hatta, Sultan Hamengkubuwana IX, Adam Malik, BJ Habibie dan wapres lainnya.
"Jadi usulan ini saya baca sebagai ekspresi orang tua yang peduli dengan bangsanya, yang memperlihatkan juga bahwa kita dalam situasi yang very very big trouble. Saya kira sebenarnya juga mereka paham lah ini susah, tapi mereka harus bersuara. Kalau enggak siapa lagi," kata Firman.
"Ditambah lagi proses Gibran naik jadi wapres melalui proses nepotisme. Gibran itu refleksi bagaimana nepotisme berjalan di negara kita. Jadi contoh paling gamblang, sulit untuk dipungkiri," katanya.
Sementara itu, Bivitri melihat usulan Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu lebih untuk "mengguncangkan" wacana yang kini berkembang, yaitu adanya matahari kembar dalam pemerintahan, merujuk pada Prabowo dan Jokowi.
"Selain itu, Prabowo dan TNI sangat dekat, sedangkan Jokowi dekatnya kepolisian. Dengan usulan dari purnawirawan TNI ini semacam kompetisi politik antar dua kekuatan untuk meletakkan peran mereka dalam percaturan politik," katanya.
Apa tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI?
Sebelumnya, Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengeluarkan delapan poin pernyataan sikap mereka, mulai dari penolakan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), menghentikan tenaga kerja asing, perombakan kabinet hingga mengusulkan pergantian wapres ke MPR.
Pergantian wapres itu menurut mereka didasarkan pada keputusan MK tentang Pasal 169 UUD Pemilu yang telah melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Pernyatan sikap itu ditandatangani oleh Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, dan diketahui oleh Jenderal (Purn) Try Sutrisno.
Selain mereka disebut juga ada ratusan purnawirawan tentara lain yang mendukung sikap itu.
Fachrul Razi sebelumnya pernah menjabat sebagai Menteri Agama di kabinet Jokowi jilid dua. Dia juga pernah memimpin tim relawan 'Bravo 5' yang terdiri dari pensiunan TNI yang mendukung kampanye Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019. Di dunia militer, jabatan terakhirnya adalah Wakil Panglima TNI.
Tyasno Soedarto adalah Kepala Staf TNI AD periode 1999-2000. Hanafie Asnan adalah KSAU periode 1998-2002.
Lalu, Slamet Soebijanto adalah Kepala Staf TNI AL pada 2005-2007, yang pernah mendeklarasikan diri menjadi capres lewat jalur independen pada Pilpres 2009.
Terakhir adalah Try Sutrisno, Wakil Presiden Indonesia Keenam dan mantan Panglima TNI. Pada Pilpres 2019, dia disebut masuk dalam Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf.
Ragam reaksi atas tuntutan itu
Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, mengatakan Presiden Prabowo menghargai dan memahami pernyataan sikap yang disampaikan Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu.
"Presiden memang menghormati dan memahami pikiran-pikiran itu. Karena kita tahu beliau dan para purnawirawan satu almamater, satu perjuangan, satu pengabdian, dan tentu punya sikap moral yang sama dengan jiwa Sapta Marga dan Sumpah Prajurit itu. Oleh karena itu, beliau memahami itu," ujar Wiranto, Kamis (24/04) lalu.
Meski demikian, Wiranto menegaskan bahwa Prabowo tidak dapat memberikan respons secara spontan atas usulan itu karena perlu mempelajari secara cermat isi dari setiap poin yang diajukan, mengingat isu-isu yang disampaikan bersifat fundamental.
Wiranto juga menyampaikan bahwa kewenangan presiden berada dalam kerangka sistem ketatanegaraan yang menganut prinsip pemisahan kekuasaan. Oleh sebab itu, usulan yang berada di luar domain eksekutif tidak akan ditanggapi secara langsung.
Di sisi lain, menanggapi hal itu, Ketua MPR yang juga Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani menyatakan Presiden Prabowo dan Wapres Gibran merupakan pemimpin negara yang sah secara konstitusional.
"Ketika pemilihan presiden, yang kita pilih adalah calon presiden dan calon wakil presiden. Ketika dinyatakan menang, yang dinyatakan menang adalah presiden terpilih dan wakil presiden terpilih," kata Muzani Jumat (25/04).
Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh juga tidak setuju dengan usulan mencopot dari jabatannya. "Meresolusi dengan memakzulkan menurut saya sebenarnya, izinkan saya harus menyatakan dengan segala penghormatan saya, kurang tepat ya," kata Paloh, Sabtu (26/04).
Menurut Paloh, tak ada skandal yang dapat menjadi dasar mencopot Gibran dari posisi wapres.
Adik Gibran yang juga Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep juga menyebut presiden dan wapres sudah sesuai konstitusi. "Secara konstitusi, presiden dan wakil presiden kan sudah dipilih langsung oleh rakyat," kata Kaesang, Jumat (25/04).
Namun, Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Abdullah Mahmud Hendropriyono memiliki pandang berbeda. Menurutnya, pernyataan pensiunan tentara itu telah terukur.
"Tidak akan keluar dalam bidang ideologi, Pancasila, UUD 1945," kata Hendropriyono, Sabtu (26/04).
Hendropriyono pun menyebut tuntutan itu adalah bentuk aspirasi. "Katanya negeri bebas (berpendapat), jadi mereka menyampaikan aspirasinya boleh dong," ujarnya.
"Soal itu benar atau tidaknya, itu kan terserah masyarakat bangsa Indonesia, boleh saja menyampaikan aspirasi," tambahnya.
Sumber: BBC
Artikel Terkait
Terungkap Mimpi Aneh Soeharto Sebelum Wafat, Cerita ke Tutut tapi Malah Diketawain
SIMAK! Syarat-Syarat Untuk Memakzulkan Wapres Gibran
Miris! Bank Dunia Catat 60% Warga RI Tergolong Miskin, Tertinggi Kedua di ASEAN
Heboh! Dandim Sowan ke Kediaman Hercules, Warganet: Gimana TNI Mau Berwibawa?