'Ramai-Ramai Sedarah dan Separtai Diangkat Jadi Pejabat'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
“Pasal demi pasal di UUD 1945 kini hanya bacaan untuk rakyat kecil. Bagi keluarga penguasa, undang-undang itu sekadar kertas kosong yang bisa dilipat-lipat sesuka hati darah mereka.”
Konstitusi kita rupanya punya keberpihakan: kepada keluarga. Tapi jangan keliru. Bukan sembarang keluarga, melainkan keluarga-keluarga terpilih — keluarga penguasa.
Pasal 28B Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menjamin hak setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Tetapi dalam praktiknya, hak istimewa berkeluarga ini punya makna tersembunyi: hak hidup berkeluarga sambil menguasai negara.
Belum lama ini, publik dikejutkan oleh peristiwa kecil tapi sarat makna: Menteri Lingkungan Hidup menunjuk darah dagingnya sendiri sebagai Staf Ahli.
Seolah itu belum cukup, Menteri Kehutanan melantik 11 staf ahli sekaligus, sebagian besar berasal dari partai politiknya, bahkan menyelipkan pasangan suami istri dalam daftar.
“Kekeluargaan” ini bukan lagi basa-basi. Ia telah menjadi fondasi operasional kekuasaan.
Kita beranjak ke Pasal 28G yang menjanjikan perlindungan atas hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi keluarga.
Lagi-lagi, hanya keluarga tertentu yang menikmati hak ini.
Ada keluarga yang anaknya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi — lembaga yang seharusnya menjaga marwah keadilan.
Ada keluarga yang melenggang ke kursi Wakil Presiden tanpa malu menumpang dinasti.
Ada keluarga lain yang nyaman berakrobat dari jabatan Walikota ke Gubernur, tak ubahnya warisan tahta di kerajaan.
Jangan lupa, ada keluarga yang duduk manis mengelola perusahaan-perusahaan pelat merah, seolah BUMN adalah milik pribadi.
Mereka, keluarga-keluarga ini, bukan hanya mendapat pekerjaan. Mereka mengunci pintu rezeki publik agar tetap dalam genggaman keturunan sendiri. Negara berubah menjadi kongsi darah.
Semangat kekeluargaan itu — yang oleh para pendiri bangsa dimaktubkan dalam Pasal 33 ayat 1 — adalah perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama, berdasarkan asas kekeluargaan. Tapi kini, asas kekeluargaan itu dipelintir menjadi nepotisme legal.
Asas itu telah dibajak menjadi dalih untuk memupuk dinasti, membangun kerajaan-kerajaan kecil dalam tubuh negara, memperluas gurita kekuasaan yang hanya melayani kepentingan segelintir nama keluarga.
Kita tengah menyaksikan lahirnya sebuah rezim baru: Negara Keluarga.
Konstitusi dirombak menjadi surat hak milik kelompok-kelompok darah biru baru. Rakyat hanya diberi peran sebagai penonton dalam demokrasi olok-olok ini.
Dalam negara keluarga ini, meritokrasi mati muda. Integritas menjadi anekdot. Hak rakyat untuk bermimpi menjadi pejabat tinggi tanpa koneksi darah kini terasa konyol.
Sebab, sebelum mereka mengabdi pada bangsa, mereka harus terlebih dahulu mengabdi pada nama keluarga yang berkuasa.
Negeri ini dibangun atas semangat gotong royong. Tapi hari ini, gotong royong itu berarti: keluarga menggotong keluarga, rakyat digotong keluar dari panggung utama.
Dan kita — para pemilik sah negeri ini — hanya bisa menatap getir dari balik pagar pesta keluarga.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Rumah Warga di Pangkep Jadi Tempat Judi, Polisi dan Pak Kades Kedapatan Ikut Main, Kacau!
Sindir Preman Berseragam Ormas, Danjen Kopassus: Ogah Kerja, Mau Pendapatan Besar!
Jokowi Berdoa di Depan Peti Jenazah Paus Fransiskus
Modus Walid NTB Memperdaya 10 Santriwati: Disuruh Minum Ludah hingga Disetubuhi