SERU! Jokowi Punya Polri vs Prabowo Punya TNI
Oleh: Yusuf Blegur
Direktur Center for Public Policy Studies (CPPS)
Dalam kepemimpinan nasional seharusnya tak boleh ada matahari kembar, idealnya hanya ada kesadaran fungsi dan posisi.
Semua boleh punya ambisi dan kompetisi, namun tetap didasari mentalitas patriotisme dan nasionalisme sejati demi NKRI.
Drama pilpres 2024 masih begitu banyak menyisakan ruang kontroversi dan polemik kepemimpinan nasional.
Mulai dari proses konstitusional dan demokratisasi yang ditempuhnya, hingga aspek legalitas dan legitimasi hasilnya.
Tak luput elit politik, kelas menengah sampai kalangan masyarakat akar rumput, semuanya memiliki perspektif masing-masing dalam menilai pemungutan suara massal tersebut.
Seakan publik dibiarkan bebas memiliki pasar raya tafsir terhadap kelahiran formal kepala negara dan kepala pemerintahan itu.
Menariknya, sosok Jokowi dan Prabowo menjadi orang yang tak terhindar dan terpola mendominasi sekaligus menghegemoni dari “grand desain” penyelenggaraan pilpres 2024.
Jokowi sebagai orang sipil dan masih menjabat presiden saat itu dan Prabowo dari militer yang sebelumnya beberapa kali menjadi capres.
Bertemu dalam irisan kuantum politik yang sama, bersinergi dan berkolaborasi mengusung patform serta konstruksi pilpres dengan semangat kemenangan bersama.
Namun apa lacur, resan air ke air resan minyak ke minyak, seiring waktu konfigurasi dan konstelasi politik yang tinggi menerpa keduanya.
Jokowi dan Prabowo mulai mengalami friksi dan kecenderungan turbulensi disintegrasi.
Jokowi mengidap komorbit presiden tiga periode dan legasi akut dengan menjadikan putranya Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo.
Sementara di lain sisi, Prabowo terus membangun eksistensi, konsolidasi dan internalisasi baik sebagai presiden maupun sebagai ketua umum partai Gerindra.
Kontrak politik dan kesepakatan pembagian tugas tak akan bertahan menghadapi agenda dan skenario politik yang dimiliki Jokowi dan Prabowo dalam menghadapi dinamika kepemimpinan nasional ke depannya.
Antara Jokowi dan Prabowo, sulit sekali memaksakan “chemistry” dalam hal ideologi dan politik kebangsaan.
Keduanya hanya dipertemukan dalam hubungan simbiosis mutual, dalam kerangka strategis dan taktis, bahkan bisa dibilang saling mengukur dan mendeteksi perangai politik masing-masing.
Tarik-menarik kepentingan politik, pembagian kekuasaan, distribusi peran dan kewenangan, seiring waktu akan memisahkan jalan politik mantan presiden dan presiden.
Terlebih infrastruktur politik yang dimiliki Jokowi dan Prabowi mulai mengalami polarisasi dan disparitas meskipun masih secara gradual.
Ambil contoh, dalam partai politik yang beririsan secara langsung dengan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif bahkan pada TNI dan Polri, mulai menyeruak adanya kontradiksi dari relasi Jokowi dan Prabowo.
Pertemuan yang berlangsung pada 7 April 2025 antara Prabowo dan Megawati, tidak berselang-lama diikuti dengan pertemuan Jokowi dan beberapa menteri di saat Prabowo mengadakan lawatan ke Turki dan beberapa negara timur tengah pada 9-15 April 2025.
Kemudian dalam waktu yang bersamaan pada 17 April 2025 ada peristiwa Jokowi memberi arahan pada peserta Sespimem Polri di kediamannya Solo Jawa Tengah dan silaturahmi purnawiran prajurit TNI dengan tokoh masyarakat yang secara eksplisit memberikan dukungan kepada kepemimpinan Prabowo dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi rakyat, negara dan bangsa Indonesia.
Semakin kentara, ada disharmoni antara Jokowi dan Prabowo.
Keduanya mulai berjarak dalam eksistensi dan posisioning maing-masing, baik dalam membangun hubungan dan pengaruhnya terhadap kekuasan oligarki maupun kekuatan politik pemerintahan.
Jokowi yang dianggap masih punya kendali terhadap beberapa menteri yang notabene menjadi pembantu prabowo dalam pemerintahannya seperti Luhut Panjaitan, Pratikto, Budi Arie, Bahlil Lahaladia, Budi Gunawan Sadikin dll.
Terus melakukan manuver yang terkesan memperlihatkan adanya matahari kembar dalam pemerintahan Prabowo.
Sebaliknya Prabowo juga secara “smooth” mulai mengambil kebijakan-kebijakan publik yang memutus mata rantai produk-produk politik Jokowi semasa menjabat presiden.
Jokowi yang masih ingin berkiprah dalam urusan dan tata-kelola penyelenggaraan negara, memiliki loyalis dari unsur Polri seperti Tito Karnavian yang menjabat mendagri dan Sigit Sulistiyo yang berstatus Kapolri.
Pada saatnya Jokowi akan berhadapan dengan kepemimpinan Prabowo sebagai seorang purnawirawan jenderal TNI yang menjabat presiden.
Terutama dalam semua pengambilan kebijakan politik, akankah persinggungan Jokowi seorang mantan presiden dari kalangan sipil yang didukung irisan Polri akan semakin mengerucut dengan Prabowo seorang presiden yang eksisting dengan status purna bakti serta sebagai Panglima Tinggi TNI?.
Kondisi itu jika dibiarkan terus menerus akan menimbulkan situasi yang agitatif dan provokatif terhadap stabilitas nasional.
Rakyat akan terus tergiring pada proxy perpecahan bangsa, isu kudeta dan kemungkinan chaos dan potensi bubarnya NKRI.
Jika benar antara Jokowi dan Prabowo dalam posisi diametral dan saling berhadap-hadapan demi mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan, bagaimana nasib rakyat yang sudah terpuruk begitu dalam.
Ketika negara dalam kekuasaan oligarki, dimana Polri dan TNI berada?
Kemana rakyat mencari tempat mengadu dan perlindungan?
Jika hanya Jokowi yang punya Polri dan Prabowo yang punya TNI.
Bukankah TNI-Polri itu lahir dari rahim rakyat?
Jika tak punya siapa-siapa lagi, apakah rakyat harus bergantung pada preman?
Biar Sang Presiden aktif dan berkuasa penuh yang menjawabnya.
***
Artikel Terkait
Kekaburan Ijazah Jokowi dan Gibran: Menggugat Integritas Kepemimpinan
Gibran dan Ilusi Petarung: Ketika Privilege Nepotisme Bicara Tentang Perjuangan
IG Sespimmen Polri Hapus Foto Jokowi Langsung Disorot Suryo Prabowo
Dicemooh Netizen, Video Wapres Gibran Ulas Film Jumbo Malah Dapat Lebih Banyak Dislike daripada Like