POLHUKAM.ID - Di tengah polemik penggusuran ribuan warga di Pulau Rempang untuk proyek Rempang Eco City, publik kembali dibuat terkejut.
Menteri Transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara, dikabarkan akan bertemu langsung dengan investor utama proyek, yakni Xinyi Group asal Tiongkok, untuk membicarakan relokasi warga.
Langkah ini menuai kritik tajam dan pertanyaan serius: Menteri mewakili negara, rakyat, atau justru investor asing?
Iskandar Sitorus: “Jangan Gadaikan Kedaulatan untuk Modal Asing”
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), menyebut pertemuan Menteri Transmigrasi dengan investor sebagai preseden berbahaya.
Ia menilai hal itu mengaburkan fungsi kementerian dan merusak prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
“Kalau Menteri Transmigrasi bicara ke investor, lalu siapa yang mewakili rakyat? Apa urgensinya pejabat publik menjadi juru runding pengusaha asing?” ujar Iskandar, Selasa (8/4).
Menurutnya, peran kementerian seharusnya memberdayakan transmigran, bukan menjembatani kepentingan korporasi asing.
Tindakan ini dianggap sebagai penyimpangan dari tupoksi (tugas pokok dan fungsi) lembaga negara.
Transmigrasi atau Relokasi Bermerek Investasi?
Pemerintah selama ini menyebut pemindahan warga Rempang sebagai bagian dari strategi penataan kawasan.
Namun bagi IAW, narasi itu dianggap sebagai kamuflase relokasi paksa demi memuluskan investasi asing di bawah skema Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Kalau ini digerakkan oleh Xinyi, itu bukan transmigrasi—itu penggusuran bermerek. Jangan kelirukan publik,” tegas Iskandar.
Melampaui Kewenangan: Tupoksi yang Tabrak Aturan
Mengacu pada Perpres No. 9 Tahun 2024, Kementerian Transmigrasi bertugas menyiapkan dan mengembangkan wilayah transmigrasi bagi warga yang secara sukarela ingin berpindah.
Tidak ada mandat untuk bernegosiasi dengan investor asing.
“Menteri Transmigrasi tidak bisa bertindak sebagai diplomat atau negosiator investor. Ini menabrak batas fungsi kementerian dan melemahkan posisi warga,” katanya.
Landasan Hukum: HAM dan Hak Atas Tanah Harus Diutamakan
Iskandar menyoroti sejumlah kerangka hukum yang seharusnya dijadikan pijakan, termasuk:
Pasal 28H & 28I UUD 1945: Hak atas tempat tinggal dan larangan penggusuran sewenang-wenang.
UU No. 39/1999 tentang HAM: Menjamin relokasi harus melalui proses konsultasi, kompensasi adil, dan perlindungan hukum.
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah: Memberi kewenangan daerah melindungi warganya.
UU No. 5/1960 tentang UUPA: Negara wajib mengakui hak masyarakat adat atas tanah turun-temurun.
“Kalau Menteri saja sudah lari ke investor, maka siapa yang berdiri untuk HAM dan hak tanah masyarakat adat?” kritiknya.
Audit Proyek Rempang: Dari Lahan Hingga Uang Negara
Sebagai lembaga pemantau akuntabilitas, IAW mendorong agar proyek Rempang diaudit secara menyeluruh—mulai dari pembebasan lahan, aliran dana, hingga kompensasi warga.
“Presiden Prabowo harus minta audit BPK dan awasi KPK. Dalam 10 tahun terakhir, LHP BPK menunjukkan program transmigrasi penuh inefisiensi dan minim evaluasi hasil,” jelas Iskandar.
Negara untuk Siapa? Rakyat atau Investor
Kritik tajam Iskandar berpuncak pada satu pertanyaan fundamental: Untuk siapa negara ini bekerja?
“Kalau relokasi rakyat dibungkus sebagai transmigrasi demi proyek asing, itu penyelundupan kebijakan. Presiden Prabowo harus anggap ini ancaman serius terhadap keadilan sosial,” pungkasnya.
Sumber: PorosJakarta
Artikel Terkait
Heboh Link Video Elga Puruk Cahu Berdurasi 5 Menit 44 Detik Viral di Media Sosial
Akhirnya Jokowi Tunjukkan Ijazah Asli dari SD sampai Kuliah UGM, Tapi Kok...
Sudah 65.025 Porsi Makan Bergizi Gratis Dibuat, Tapi Ibu Ira Belum Dapat Bayaran Sepeser Pun
Gaji Ribuan Kepala Dapur MBG Belum Dibayar 3 Bulan, Kepala BGN Sebut Kewajibannya Sudah Tuntas