Ketika Kampus Diintervensi Oleh Kekuatan Politik: 'UI, UGM, dan Krisis Integritas Akademik'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Kampus seharusnya menjadi benteng terakhir bagi kebebasan akademik dan integritas intelektual.
Namun, di Indonesia, universitas tidak luput dari intervensi kekuatan politik, yang merusak nilai-nilai akademik yang seharusnya dijunjung tinggi.
Dua kasus yang mencolok dalam beberapa tahun terakhir adalah dugaan plagiat dalam disertasi Bahlil Lahadalia di Universitas Indonesia (UI) dan dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kedua kasus ini tidak hanya mencoreng kredibilitas institusi pendidikan tinggi, tetapi juga mencerminkan betapa kuatnya tekanan politik dalam dunia akademik.
Kasus Bahlil Lahadalia dan Degradasi Akademik UI
Bahlil Lahadalia, yang menjabat sebagai Menteri Investasi, mendapat gelar doktor dari Universitas Indonesia dengan disertasi yang kemudian terbukti sebagai hasil plagiat.
Kasus ini menarik perhatian publik karena UI dikenal sebagai salah satu kampus paling prestisius di Indonesia.
Dugaan plagiat ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana seorang pejabat negara bisa memperoleh gelar akademik tanpa melalui standar ilmiah yang ketat.
Intervensi politik dalam dunia akademik tampak jelas dalam kasus ini. UI, yang seharusnya teguh dalam mempertahankan standar akademik, justru tampak longgar dalam menyikapi tuduhan plagiat terhadap tokoh politik.
Hal ini mengindikasikan adanya tekanan dari pihak eksternal yang berupaya menjaga citra pejabat negara daripada mempertahankan marwah akademik.
Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, maka gelar akademik tidak lagi menjadi simbol pencapaian intelektual, melainkan sekadar alat legitimasi bagi para elite politik.
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi dan Reaksi UGM
Kasus lain yang tak kalah kontroversial adalah dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo dari Universitas Gadjah Mada.
Isu ini mencuat ketika sekelompok aktivis mempertanyakan keabsahan ijazah Jokowi dan menuding bahwa ada rekayasa dalam penerbitannya.
Pihak UGM dengan cepat membantah tuduhan tersebut, tetapi cara mereka menangani isu ini justru semakin memunculkan keraguan publik.
Sikap UGM yang defensif dan kurang transparan dalam menjawab tuduhan ini menunjukkan betapa kampus bisa terjebak dalam tekanan politik.
Alih-alih membuka akses seluas-luasnya terhadap dokumen akademik Jokowi untuk mengakhiri polemik, UGM memilih untuk menutup diri dan mengandalkan pernyataan-pernyataan normatif.
Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang ditutupi, dan jika benar demikian, maka itu menjadi preseden buruk bagi dunia akademik di Indonesia.
Politik dan Kemunduran Akademik
Kedua kasus di atas menunjukkan bagaimana intervensi politik dapat menghancurkan integritas akademik di perguruan tinggi.
Kampus, yang seharusnya menjadi pusat kebebasan berpikir dan kejujuran intelektual, malah terjebak dalam permainan kekuasaan.
Ketika gelar akademik dapat diperoleh melalui jalur politis, atau ketika institusi pendidikan lebih memilih tunduk pada tekanan kekuasaan daripada menjaga integritasnya, maka kualitas akademik akan terus merosot.
Lebih dari sekadar mencoreng nama baik UI dan UGM, fenomena ini mengancam masa depan pendidikan tinggi di Indonesia.
Jika dunia akademik tidak segera membersihkan diri dari intervensi politik, maka akan semakin banyak individu yang menjadikan kampus sebagai alat politik daripada sebagai lembaga pencetak pemikir yang kritis dan berkualitas.
Kesimpulan
Kasus Bahlil Lahadalia dan Joko Widodo menjadi bukti bahwa intervensi politik dalam dunia akademik bukan sekadar isapan jempol.
Universitas harus segera berbenah dan kembali ke khitahnya sebagai penjaga ilmu pengetahuan yang murni dari kepentingan politik.
Tanpa reformasi yang serius, kampus-kampus di Indonesia hanya akan menjadi alat legitimasi politik tanpa kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.
Masyarakat akademik, termasuk mahasiswa dan dosen, harus berani bersuara dan menuntut transparansi agar pendidikan tinggi Indonesia kembali memiliki integritas dan kredibilitas.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
MUI: Mudik di Kampung tak Usah Flexing
Atalia Praratya Tegas Tak Mau Diduakan, Ingin Berpisah dan Biarkan Ridwan Kamil Memilih Wanita Lain
Lisa Mariana Dapat DM dari Hotman Paris Diajak Ngopi Bareng, Tegaskan Belum Tunjuk Kuasa Hukum
Diduga Foto Pernikahan Lisa Mariana Beredar, Sama Ridwan Kamil?