Sejak Awal Niat TNI Melahirkan Prajurit Handal Dalam Strategi Perang, Bukan Mengelola Pemerintahan Sipil!

- Senin, 17 Maret 2025 | 14:05 WIB
Sejak Awal Niat TNI Melahirkan Prajurit Handal Dalam Strategi Perang, Bukan Mengelola Pemerintahan Sipil!


Sejak Awal Niat TNI Melahirkan Prajurit Handal Dalam Strategi Perang, Bukan Mengelola Pemerintahan Sipil!


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Sejak awal pembentukannya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dirancang sebagai institusi pertahanan negara yang bertugas menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. 


Kurikulum pendidikan di lembaga seperti Akademi Militer (Akmil) menitikberatkan pada strategi perang, pertahanan, dan keamanan nasional. 


Tidak ada ruang dalam pendidikan dasar prajurit untuk mempelajari tata kelola pemerintahan yang seharusnya menjadi ranah sipil. 


Namun, dalam praktiknya, keterlibatan militer dalam urusan pemerintahan terus menjadi perdebatan panjang dalam sejarah Indonesia.


Fokus Utama: Strategi dan Kedisiplinan Militer

Kurikulum di akademi militer sejak dulu mengajarkan disiplin, taktik perang, strategi bertahan, dan manajemen konflik bersenjata.


Setiap perwira yang dilahirkan oleh sistem pendidikan militer diarahkan untuk memahami medan perang, bukan untuk mengatur birokrasi sipil. 


Seorang tentara diajarkan cara menaklukkan lawan, merancang strategi tempur, serta membangun ketahanan fisik dan mental di medan pertempuran.


TNI dididik dengan doktrin yang keras: setia kepada negara, loyal kepada pimpinan, dan berorientasi pada efektivitas dalam mencapai tujuan. 


Doktrin ini berbeda jauh dengan prinsip demokrasi dalam pemerintahan sipil, yang mengutamakan negosiasi, transparansi, dan partisipasi publik. 


Seorang pemimpin sipil dituntut untuk merangkul berbagai kelompok masyarakat dan mendengarkan aspirasi rakyat, sedangkan pemimpin militer terbiasa dengan komando dan hierarki yang harus dijalankan tanpa banyak perdebatan.


Militer dalam Ranah Sipil: Anomali dalam Demokrasi

Dalam sejarah Indonesia, keterlibatan TNI dalam pemerintahan sipil sering kali terjadi, baik melalui dwifungsi ABRI pada era Orde Baru maupun dalam bentuk penempatan purnawirawan militer di posisi-posisi strategis pemerintahan. Keterlibatan ini kerap menimbulkan ketegangan antara prinsip demokrasi dan doktrin militerisme. 


Seorang prajurit, yang dilatih untuk bertindak cepat dan tegas dalam menghadapi ancaman, sering kali tidak memiliki fleksibilitas yang diperlukan dalam mengelola sistem pemerintahan yang kompleks dan dinamis.


Tata kelola pemerintahan memerlukan keterampilan administratif, kebijakan publik, dan diplomasi yang merupakan disiplin ilmu berbeda dengan strategi perang. 


Ketika prajurit—yang sejak awal tidak dididik untuk mengelola pemerintahan—ditempatkan dalam jabatan sipil, muncul pertanyaan mendasar: apakah mereka memiliki kapasitas yang cukup untuk mengelola pemerintahan yang demokratis dan transparan? 


Sejarah menunjukkan bahwa militerisasi birokrasi sering kali berujung pada sentralisasi kekuasaan dan terbatasnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan.


Membatasi Peran Militer dalam Pemerintahan

Dalam sistem demokrasi yang sehat, militer dan sipil harus memiliki batasan yang jelas. 


Peran TNI seharusnya tetap berada dalam ranah pertahanan dan keamanan, sementara tata kelola pemerintahan harus dijalankan oleh aparatur sipil negara yang memang dididik untuk mengelola kebijakan publik dan melayani masyarakat dengan prinsip-prinsip demokrasi.


Penting bagi negara untuk memastikan bahwa pendidikan militer tetap berfokus pada keahlian yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. 


Jika seorang prajurit ingin berkiprah dalam pemerintahan, maka ia seharusnya menempuh jalur sipil setelah pensiun dari militer, dengan pendidikan tambahan yang relevan dalam administrasi publik, ekonomi, atau hukum.


Kesimpulan

Sejak awal, niat TNI adalah melahirkan prajurit yang handal dalam strategi perang, bukan untuk mengelola pemerintahan sipil. 


Keterlibatan militer dalam urusan pemerintahan merupakan anomali yang seharusnya dikoreksi demi menjaga prinsip demokrasi. 


Agar tata kelola pemerintahan berjalan dengan baik, maka peran sipil harus diperkuat, sementara militer tetap berada pada koridor pertahanan negara. 


Demokrasi yang sehat memerlukan pemisahan yang tegas antara ranah sipil dan militer, agar keduanya dapat menjalankan tugasnya masing-masing tanpa tumpang tindih yang merugikan bangsa.


Kurikulum Akademi Militer (Akmil) di Indonesia dirancang untuk membentuk perwira TNI Angkatan Darat yang profesional, tangguh, dan berjiwa kepemimpinan tinggi. Berikut adalah gambaran umum kurikulum Akmil:


1. Struktur Pendidikan


Pendidikan di Akmil berlangsung selama empat tahun dan dibagi menjadi beberapa tahap:


Tahun Pertama (Tingkat I – Dasar)

  • Pendidikan dasar keprajuritan dan akademik.
  • Fokus pada pembentukan karakter, disiplin, dan mental militer.
  • Pelajaran fisik dan ilmu dasar kemiliteran.


Tahun Kedua (Tingkat II – Lanjutan)

  • Peningkatan materi kemiliteran dan akademik.
  • Pelajaran strategi dasar, kepemimpinan, dan taktik tempur.


Tahun Ketiga (Tingkat III – Menengah)

  • Peningkatan keahlian militer yang lebih spesifik.
  • Latihan-latihan skenario pertempuran.
  • Pendidikan akademik lanjutan (ilmu sosial, sains, dan teknologi militer).


Tahun Keempat (Tingkat IV – Lanjutan)

  • Persiapan menjadi perwira muda.
  • Latihan operasi militer sesungguhnya (Latihan Yudha Wastu Pramuka).
  • Tugas akhir dan persiapan untuk dilantik sebagai Letnan Dua (Letda).


2. Mata Pelajaran dan Bidang Studi


Kurikulum Akmil mencakup tiga aspek utama:


Akademik

Matematika, fisika, kimia, bahasa Inggris, manajemen pertahanan, ilmu politik, dan sejarah militer.


Militer

Ilmu taktik tempur, strategi perang, navigasi darat, teknik bertempur, perang gerilya, intelijen militer, hingga perang kota.


Jasmani dan Kepemimpinan

Latihan fisik, bela diri, survival, kepemimpinan lapangan, dan psikologi kepemimpinan.


3. Latihan dan Praktek Lapangan


Selain teori, taruna Akmil menjalani berbagai latihan seperti:

  • Latihan Dasar Kemiliteran di hutan, gunung, dan rawa.
  • Latihan Perang Gerilya untuk memahami taktik bertahan dan menyerang.
  • Latihan Kepemimpinan dalam kondisi tempur.
  • Latihan Yudha Wastu Pramuka sebagai ujian akhir sebelum pelantikan.


4. Gelar Akademik


Setelah lulus, taruna Akmil mendapat gelar Sarjana Terapan Pertahanan (S.Tr. Han) dan dilantik menjadi Letnan Dua (Letda). 


***


Sumber: FusilatNews

Komentar