POLHUKAM.ID - Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Handy menilai kehadiran produk Mayora terutama pangan instan yang disajikan dalam Makan Bergizi Gratis (MBG) selama Ramadan menjadi bukti ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah dalam menjalankan program tersebut.
Rissalwan, awalnya menjelaskan permasalahan utama menu MBG bukan hanya soal dominasi produk Mayora, melainkan kandungan gizi dari makanan yang diberikan kepada anak-anak sekolah.
"Jadi jelas-jelas namanya makan bergizi gratis gitu. Tapi kemudian kandungannya boleh dibilang tidak proporsional dalam konten gizinya ya. Karena gulanya berlebih dan sebagainya," kata Rissalwan, Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Rissalwan menambahkan, di satu sisi pemerintah menamakan programnya Makan Bergizi Gratis, namun di sisi lain, pangan yang diberikan justru tidak mencerminkan prinsip gizi seimbang. Inilah membuat kebijakan jadi terkesan tidak konsisten.
"Misalnya ini kan kata bergizinya itu kan hal yang utama di dalam program ini. Tapi kenapa kemudian itu justru yang kecolongan gitu. Itu yang menurut saya perlu jadi catatan paling penting," tegasnya.
Lebih jauh, Rissalwan menegaskan masalah ini menunjukkan kalau program MBG belum siap untuk diterapkan secara luas.
"Ini sebetulnya kita bisa melihat bahwa program MBG ini belum siap sebetulnya untuk di-launching gitu ya. Belum siap gitu. Dan ya tata kelolanya masih belum baik gitu ya. Kontrolnya masih belum ada gitu," ucapnya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah menghentikan sementara program ini dan melakukan evaluasi menyeluruh.
Sebab, perlu ada perbaikan dalam tata kelola, transparansi, serta pengawasan agar tujuan utama program, yakni memberikan asupan bergizi yang seimbang bagi anak-anak, benar-benar tercapai.
"Jadi ya memang sebaiknya mungkin dihentikan sementara, dievaluasi dulu gitu ya. Dilihat dulu apa yang perlu diperbaiki, di sektor-sektor mana yang perlu ditingkatkan ya," paparnya.
Jauh dari Pola Makan Sehat
Sebelumnya, Dokter sekaligus ahli gizi masyarakat, dr. Tan Shot Yen, juga menyoroti perubahan menu MBG selama Ramadan.
Ia menilai perubahan ini dapat berdampak buruk. Bukan hanya menjauhkan anak-anak dari pola makan sehat, tetapi juga berisiko menanamkan pemahaman keliru terkait makanan yang berkualitas.
"Jika produk ultraproses dibagi di sekolah, anak akan berpikir, oh, ini asupan sehat. Kan diajarkan makan ini. Bahkan bisa jadi pengganti sarapan. Keren. Padahal jauh dari janji semula, kearifan lokal," ujarnya dalam unggahan di Instagram yang telah diizinkan untuk dikutip Senin (10/3/2025).
Lebih lanjut, dr. Tan meyakini jika makanan kemasan ini terus dibagikan, kebiasaan mengonsumsi produk ultraproses ini dapat berlanjut bahkan setelah bulan puasa berakhir.
"Anak akan berasumsi semua produk serupa baik. Padahal kastanya banyak, orang dewasa saja tidak sadar hal ini," katanya.
Sumber: Inilah
Artikel Terkait
Bukti Baru, Ahli Forensik Digital Yakin Ijazah Jokowi Palsu: Font-nya Times New Roman Belum Ada saat Itu
Jumlah Mualaf di Tangsel Terus Meningkat, Banyak Warga Negara Asing
Sangkal Dugaan Kekerasan, Polres Asahan Klarifikasi Kematian Anak Yatim Piatu, Sebut Positif Narkoba
Rahasia Mp3Juices yang Jarang Diketahui, Kamu Wajib Coba!