MIRIS! Kepedihan Anak-Anak Tergusur Proyek PIK-2 Aguan di Banten
Oleh: Desi Husna
Aktivis Aliansi Rakyat Menggugat (ARM)
Matahari tenggelam perlahan di ufuk barat, menciptakan siluet jingga di langit pesisir Banten. Namun, bagi anak-anak di Kampung Dadap dan sekitarnya, senja tak lagi membawa kehangatan.
Dulu, mereka berlarian di antara pepohonan bakau, menangkap ikan kecil di tepian sungai, dan bermain di halaman rumah yang penuh tawa.
Kini, tanah yang mereka pijak telah berubah menjadi tumpukan puing-puing.
Rumah mereka dihancurkan, dan mimpi-mimpi kecil mereka seakan tersapu gelombang urbanisasi yang tak berbelas kasih.
Di sudut tenda pengungsian darurat, Aisyah (9) menggenggam erat tangan adiknya, Rahmat (6). Mata mereka kosong, mencari sosok ibunya yang pergi mencari pekerjaan baru.
Ayah mereka, seorang nelayan, telah kehilangan perahu dan alat tangkapnya setelah penggusuran mendadak itu terjadi.
“Aku ingin pulang,” lirih Rahmat, tetapi Aisyah hanya diam. Ia tahu, rumah mereka tak lagi ada.
Ketika proyek reklamasi PIK-2 mulai digarap, pengembang menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi warga yang akan direlokasi.
Ada janji-janji tentang rumah baru, ganti rugi yang layak, dan kesempatan ekonomi yang lebih besar.
Namun, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Banyak keluarga hanya mendapat sedikit kompensasi, bahkan ada yang dipaksa pergi tanpa penggantian sepadan.
Anak-anak menjadi korban yang paling menderita. Sekolah mereka terhenti karena jarak ke sekolah baru terlalu jauh atau karena orang tua mereka tak lagi mampu membayar biaya pendidikan.
Beberapa anak bahkan terpaksa ikut bekerja membantu orang tua mereka mencari nafkah, menjajakan makanan atau menjadi buruh di sekitar proyek yang dulunya adalah tanah mereka sendiri.
“Katanya ini demi pembangunan, tapi kenapa kami justru makin sengsara?” ujar Rudi (12), yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan daripada di sekolah.
Ia masih ingat bagaimana gurunya dulu bercerita tentang pentingnya pendidikan. Tapi kini, ia merasa semua itu hanya angan-angan bagi anak-anak seperti dirinya.
Pemerintah daerah seolah tak berdaya menghadapi kuasa modal. Proyek ini bernilai triliunan rupiah, menjanjikan kawasan elite baru yang menyerupai Singapura. Namun, di balik megahnya proyek ini, ada ribuan keluarga yang terlunta-lunta.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis mencoba bersuara, tetapi suara mereka kalah oleh kekuatan uang dan kepentingan politik. Penggusuran terus terjadi dengan dalih legalitas yang seringkali dipertanyakan.
Anak-anak yang kehilangan rumah, sekolah, dan komunitasnya hanya bisa menunggu keajaiban yang mungkin tak pernah datang.
Jika dibiarkan, dampak sosial dari penggusuran ini akan terasa bertahun-tahun ke depan. Anak-anak yang kehilangan pendidikan berpotensi terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Trauma yang mereka alami—melihat rumah mereka dihancurkan, kehilangan teman, dan harus hidup dalam ketidakpastian—akan membekas dalam kehidupan mereka.
Di tempat lain, para pemilik modal bersulang merayakan suksesnya proyek yang membawa keuntungan besar.
Mereka membangun perumahan mewah, pusat bisnis, dan taman buatan, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang untuk melihat jejak kesedihan yang mereka tinggalkan.
Anak-anak yang dulu berlari di tepi sungai kini hanya bisa memandang ke kejauhan, bertanya-tanya apakah mereka akan pernah mendapatkan kembali kehidupan yang diambil dari mereka.
Pembangunan adalah sebuah keniscayaan, tetapi apakah harus selalu ada yang dikorbankan?
Dan jika yang dikorbankan adalah masa depan anak-anak, apakah kita benar-benar sedang membangun, atau justru menghancurkan? ***
Artikel Terkait
Sempat Terendam Banjir 29 Jam, Sapi-Sapi Impor di RPH Kota Bekasi Selamat
Curhat Dedy Mulyadi, Jadi Gubernur Gini Amat Sekolah Tinggi Bersihin Sampah di Kolong Jembatan
Tak Lagi Kesepian, Bu Salsa yang Viral Video Syur Unggah Foto yang Bikin Melotot Netizen
Klarifikasi RS di Medan Diduga Malapraktik, Dikira Hanya Jari, Malah Kaki Pasien yang Diamputasi