Kasus Bahlil-Bahlul: Politisasi Kampus dan Kejahatan Keilmuan

- Rabu, 05 Maret 2025 | 14:20 WIB
Kasus Bahlil-Bahlul: Politisasi Kampus dan Kejahatan Keilmuan


Kasus Bahlil-Bahlul: 'Politisasi Kampus dan Kejahatan Keilmuan'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Sebuah media ternama baru-baru ini menurunkan headline yang mengundang perhatian: “Keberanian Dewan Guru Besar UI Membatalkan Disertasi Bahlil”. 


Di balik judul tersebut, tersirat sebuah drama besar yang tidak hanya menyangkut individu, tetapi juga menyingkap tabir persoalan lebih luas: politisasi di kampus-kampus dan erosi independensi akademik di bawah bayang-bayang kekuasaan.


Kasus ini menjadi cermin buram dari bagaimana institusi pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi benteng keilmuan, justru tak lagi steril dari intervensi politik. 


Universitas, yang idealnya menjadi arena kebebasan berpikir dan pengembangan ilmu, kini tampak tersandera oleh kepentingan eksternal yang lebih kuat dari prinsip akademik itu sendiri.


Bahlil Lahadalia, seorang menteri aktif, menjadi pusat kontroversi ketika publik mengetahui bahwa ia berhasil menuntaskan studi doktoralnya dalam waktu yang terbilang singkat, dengan hasil yudisium cum laude. 


Lebih dari itu, disertasi yang ia ajukan telah diputuskan oleh Dewan Guru Besar UI sebagai plagiarisme. 


Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin seorang pejabat negara yang memiliki segudang kesibukan dapat menyelesaikan studi doktoralnya dengan prestasi akademik yang begitu mengilap? 


Jika kemudian Dewan Guru Besar UI memutuskan untuk membatalkan disertasinya, maka tindakan ini adalah respons akademik yang mencoba memulihkan integritas keilmuan yang telah ternoda.


Namun, keputusan Dewan Guru Besar ini pun tidak berdiri sendiri. Ada indikasi kuat bahwa perdebatan di internal kampus tidak sepenuhnya berangkat dari kesadaran akademik semata. Politisasi kampus telah menjelma menjadi realitas yang tak terbantahkan. 


Kampus-kampus tidak lagi menjadi menara gading yang kebal terhadap tekanan eksternal. 


Justru sebaliknya, mereka sering kali menjadi ajang tarik-menarik kepentingan politik, baik dari dalam maupun luar institusi.


Kasus Bahlil ini menambah daftar panjang skandal akademik di Indonesia yang menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat merusak independensi dunia pendidikan. 


Dahulu, kita mengenal kasus serupa di mana gelar akademik diberikan kepada figur-figur tertentu dengan prosedur yang dipertanyakan. 


Fenomena ini tidak hanya mencederai moral akademik, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap kualitas pendidikan tinggi di negeri ini.


Yang paling telanjang dari semua ini adalah kenyataan bahwa dunia akademik tidak lagi bisa mandiri atas nama keilmuan. 


Jika sebuah institusi pendidikan tinggi bisa dipengaruhi, dikendalikan, atau bahkan ditekan oleh kekuasaan politik, maka kita sedang menyaksikan kemunduran besar dalam integritas akademik. 


Ketika nilai-nilai kejujuran ilmiah bisa ditawar, dan pencapaian akademik menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan, maka yang terjadi adalah kejahatan keilmuan yang sempurna.


Kita harus bertanya, ke mana arah pendidikan tinggi kita? Jika kampus terus dikooptasi oleh politik, maka bukan hanya gelar akademik yang kehilangan makna, tetapi juga ilmu pengetahuan itu sendiri. 


Maka, pembatalan disertasi Bahlil bukan sekadar episode kecil dalam dunia akademik Indonesia, tetapi alarm keras bagi kita semua: bahwa kampus harus kembali pada marwahnya sebagai institusi keilmuan yang bebas dan berdaulat. ***

Komentar