Membaca Sikap Batin dan Verbal Putra Mahkota Keraton Solo: Penyesalan Bergabung Dengan Republik

- Senin, 03 Maret 2025 | 00:00 WIB
Membaca Sikap Batin dan Verbal Putra Mahkota Keraton Solo: Penyesalan Bergabung Dengan Republik


Membaca Sikap Batin dan Verbal Putra Mahkota Keraton Solo: 'Penyesalan Bergabung Dengan Republik'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi




Dalam dinamika sejarah Indonesia, peran kerajaan-kerajaan Nusantara dalam proses pembentukan Republik Indonesia merupakan suatu bab yang penuh dengan kompromi politik. 


Salah satu kerajaan yang memiliki keterlibatan signifikan dalam proses ini adalah Keraton Kasunanan Surakarta. 


Namun, baru-baru ini, muncul pernyataan dari Putra Mahkota Keraton Solo yang mencerminkan penyesalan mendalam atas keputusan bergabung dengan Republik. 


Pernyataan ini bukan sekadar refleksi sejarah, tetapi juga kritik terhadap situasi perpolitikan nasional saat ini yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang dahulu menjadi fondasi berdirinya bangsa ini.


Kompromi Kerajaan dalam Pembentukan Republik

Sejak awal kemerdekaan, Keraton Surakarta dan Yogyakarta menghadapi dilema besar: mempertahankan eksistensi sebagai kerajaan yang otonom atau bergabung dengan Republik Indonesia yang baru terbentuk. 


Yogyakarta, di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII, memilih berintegrasi dengan Republik dengan syarat khusus sebagai daerah istimewa. 


Sebaliknya, Keraton Surakarta mengalami berbagai gejolak politik yang pada akhirnya menyebabkan status istimewanya dicabut oleh pemerintah pada tahun 1946.


Dalam konteks ini, Putra Mahkota Keraton Solo mengungkapkan perasaan batin yang menggambarkan kekecewaan mendalam terhadap keputusan politik masa lalu, yang semakin diperparah oleh kondisi perpolitikan nasional saat ini. 


Ungkapan yang ia sampaikan bukan sekadar kritik biasa, tetapi sebuah bentuk ekspresi yang bersumber dari kesadaran sejarah dan tanggung jawab terhadap warisan leluhur, yang kini terasa semakin dipinggirkan oleh kepentingan politik pragmatis.


Majas dalam Pernyataan Putra Mahkota

Jika kita menelaah ungkapan yang dilontarkan oleh Putra Mahkota, terdapat indikasi penggunaan majas yang mencerminkan rasa kecewa atau bahkan kemarahan terselubung. 


Dalam budaya Jawa, khususnya di lingkup keraton, komunikasi tidak selalu bersifat eksplisit. 


Sebaliknya, orang Jawa sering menggunakan bahasa kromo inggil yang sarat dengan sindiran dan metafora halus.


Dalam hal ini, beberapa majas yang kemungkinan digunakan oleh Putra Mahkota antara lain:


1. Majas Ironi – Mengungkapkan sesuatu dengan makna yang bertolak belakang. Misalnya, jika ia mengatakan bahwa bergabung dengan Republik adalah keputusan terbaik, bisa jadi itu adalah sindiran bahwa keputusan tersebut justru merugikan keraton dan kini diperparah oleh perpolitikan nasional yang semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan.


2. Majas Litotes – Merendahkan sesuatu untuk menyampaikan makna yang lebih besar. Misalnya, jika ia berkata bahwa “keraton hanya tempat bermain sejarah,” itu bisa berarti bahwa eksistensi keraton telah direduksi menjadi sekadar simbol tanpa kekuasaan nyata di tengah sistem politik yang lebih mementingkan kepentingan kelompok tertentu.


3. Majas Metafora – Menggunakan perumpamaan untuk menggambarkan kondisi keraton pasca bergabung dengan Republik. Bisa saja ia mengibaratkan keraton seperti ‘perahu tanpa nahkoda’ untuk menegaskan ketidakberdayaan setelah kehilangan status istimewa, sama seperti Indonesia saat ini yang kehilangan arah akibat kepemimpinan yang lebih mementingkan oligarki dibanding kesejahteraan rakyat.


Budaya Kromo Inggil dan Ungkapan Kekecewaan

Dalam konteks budaya kromo inggil, sikap batin yang ditampilkan oleh Putra Mahkota lebih mencerminkan kesantunan, tetapi tidak kehilangan daya kritiknya. 


Kekecewaan atau kemarahan dalam budaya Jawa jarang diekspresikan secara frontal, melainkan melalui ungkapan-ungkapan yang penuh dengan nuansa kebijaksanaan.


Misalnya, alih-alih mengatakan secara langsung bahwa keputusan bergabung dengan Republik adalah kesalahan, ia mungkin akan menyatakan, “Panjenengan sampun mirsani dalan kados pundi kita nampi baline sejarah?” (Apakah Anda sudah melihat ke mana arah sejarah membawa kita?)


Ungkapan seperti ini lebih berbobot dan menuntut perenungan mendalam daripada sekadar luapan emosi belaka.


Dalam kearifan Jawa, pemimpin yang marah tidak serta-merta menggebrak meja, tetapi menyampaikan ketidakpuasan dengan cara yang lebih halus, namun tajam. 


Sikap seperti ini tidak hanya mempertahankan kehormatan, tetapi juga menjadi bentuk tanggung jawab sosial sebagai bagian dari kebudayaan aristokratik Jawa.


Kesimpulan: Apakah Penyesalan Itu Berarti Menyesali Sejarah?

Penyesalan yang diungkapkan oleh Putra Mahkota Keraton Solo bukanlah sekadar nostalgia akan kejayaan masa lalu, tetapi juga refleksi terhadap perubahan sistem yang menggerus eksistensi kerajaan-kerajaan Nusantara. 


Namun, sejarah tidak bisa diulang. Kompromi yang membentuk Republik Indonesia adalah final. 


Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana kerajaan-kerajaan tradisional dapat tetap relevan dalam kerangka negara modern?


Jika pernyataan Putra Mahkota dimaknai lebih dalam, mungkin bukan sekadar penyesalan pribadi, melainkan panggilan untuk menata ulang hubungan antara tradisi dan negara. 


Namun, dalam konteks perpolitikan nasional yang semakin sarat dengan kepentingan oligarki dan mengabaikan nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhur, pertanyaan yang lebih besar muncul: apakah keputusan bergabung dengan Republik benar-benar membawa kebaikan bagi semua? 


Ataukah hanya menjadi alat bagi segelintir elite untuk mengokohkan kekuasaan mereka? 


Karena pada akhirnya, baik kerajaan maupun Republik, keduanya adalah bagian dari sejarah bangsa yang tidak terpisahkan, tetapi kini berada dalam posisi yang semakin terdistorsi oleh kepentingan politik. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar