'Apakah Korupsi PLN Bisa Kalahkan Pertamina?'
PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan perusahaan besar Milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seakan tidak pernah ada habisnya diselimuti dugaan korupsi.
Terbaru di Pertamina adalah soal dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.
Kasus ini disebut-sebut masuk dalam daftar kasus korupsi terbesar di Indonesia yang masuk dalam Klasemen Liga Korupsi Indonesia berdasarkan besaran kerugian negara yang ditimbulkan.
Bahwa, Kejaksaan Agung (Kejagung) awalnya menyebut korupsi PT Pertamina menyebabkan kerugian negara Rp 193,7 triliun pada 2023.
Namun, kasus itu berlangsung dari 2018-2023 sehingga kerugian tersebut dapat meningkat bahkan mendekati Rp 1 kuadriliun.
Jika negara rugi Rp 193,7 triliun per tahun sejak 2018, total kerugian negara dalam lima tahun bisa mencapai Rp 968,5 triliun. Namun, perhitungan ini masih butuh analisis lebih lanjut.
Komponen yang menimbulkan kerugian negara berupa kerugian terhadap ekspor minyak mentah dalam negeri, impor minyak mentah melalui broker, impor BBM melalui broker, pemberian kompensasi, serta pemberian subsidi.
Selain itu, kerugian bisa membesar akibat distribusi BBM yang tidak sesuai spesifikasi. Jika kualitas BBM lebih rendah dari yang dijual ke publik, selisih harga ini dapat dihitung sebagai kerugian negara.
Selanjutnya korupsi terbesar adalah soal tata niaga timah ada di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022 yang merugikan negara, Rp 300 triliun; kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara Rp 138,44 triliun; penyerobotan lahan PT Duta Palma Group dengan kerugian negara Rp 78 triliun; kasus PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan kerugian negara Rp 37,8 triliun; korupsi PT Asabri dengan kerugian negara Rp 22,7 triliun; kasus PT Jiwasraya sebesar Rp 16,8 triliun; korupsi izin ekspor minyak sawit, Rp 12 triliun; korupsi pengadaan pesawat Garuda Indonesia, Rp 9,37 triliun; korupsi Proyek BTS 4G merugikan negara Rp 8 triliun; korupsi Bank Century, Rp 7 triliun
Berdasarkan catatan tersebut, maka posisi pertama dalam 'Klasemen Liga Korupsi Indonesia' sebagai kasus mega korupsi terbesar di Tanah Air saat ini ditempati kasus korupsi Pertamina.
PT Pertamina bukan kali ini saja tersandung korupsi, begitu pun juga dengan PLN.
Baru-baru ini Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga direktur subholding PT Pertamina (Persero) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.
Selain itu, Kejagung juga telah menetapkan status tersangka kepada seorang vice president (VP) Pertamina dan tiga pengusaha swasta.
Pun, terseretnya petinggi Pertamina dalam perkara korupsi bukan yang pertama kali terjadi. Berikut beberapa direktur Pertamina yang tercatat sebagai tersangka korupsi:
1. Riva Siahaan
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan resmi menjadi tersangka dalam perkara korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Kejagung mengungkap bahwa Riva melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya.
Pengondisian itu membuat pemenuhan minyak mentah dan produk kilang dilaksanakan dengan cara impor. Dalam kegiatan pengadaan impor produk kilang oleh Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara subholding Pertamina dengan broker. Akibatnya, negara mengalami kerugian sekitar Rp 193,7 triliun. Namun, nominal tersebut merupakan perkiraan sementara dari penyidik.
2. Sani Dinar Saifuddin
Selain Riva, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin juga berstatus sebagai tersangka dalam perkara korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang.
Dia disangkakan memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang dengan cara melawan hukum. Sebagai tersangka, Sani Dinar disangkakan Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3. Yoki Firnandi
Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PIS) Yoki Firnandi juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023. Yoki Firnandi berperan me-mark up nilai kontrak pengiriman minyak mentah, sehingga mengeluarkan biaya sebesar 13-15 persen.
4. Karen Agustiawan
Jauh sebelum kasus teranyar yang diusut Kejagung ini, Direktur Utama Pertamina (2009-2014) Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan, juga melakukan korupsi namun diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara korupsi pengadaan liquified natural gas (LNG) periode 2011-2014. Karen disangkakan secara sepihak memutus kontrak perjanjian pengadaan LNG tanpa kajian dan analisis menyeluruh.
5. Hari Karyuliarto
Mantan Direktur Gas dan Corporate Secretary Pertamina Hari Karyuliarto juga ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal korupsi pengadaan LNG periode 2011-2014. Dia bersama Karen didakwa merugikan negara sebesar 113,84 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 1,77 triliun.
6. Yenni Andayani
Selain Karen dan Hari, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama Pertamina (2017) sekaligus mantan Senior Vice President (SPV) Gas and Power Pertamina Yenni Andayani juga menjadi tersangka dalam perkara korupsi pengadaan LNG periode 2011-2014.
“Perbuatan terdakwa (Karen) bersama Yenni Andayani dan Hari Karyuliarto mengakibatkan kerugian negara cq PT Pertamina sebesar 113,84 juta dolar AS,” kata Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) Wawan Yunarwanto dalam pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (12/2/2024).
7. Muhammad Helmi Kamal Lubis
Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan mantan Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina periode 2013-2015 Muhammad Helmi Kamal Lubis sebagai tersangka dugaan korupsi pengelolaan dana pensiun Pertamina.
Penetapan didasarkan pada Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Direktur Penyidikan Jampidsus Nomor: Print-02/F.2/Fd.1/01/2017 tertanggal 9 Januari 2017.
Modus yang dilakukan Helmi adalah menggunakan dana pensiun untuk membeli saham yang tidak likuid, yaitu ELSA, KREN, SUGI, dan MYRX. Harga setiap sahamnya sekitar Rp 800 miliar atau dengan total Rp 1,4 triliun.
8. Bambang Irianto
Eks Direktur Utama Pertamina Energy Trading Limited atau Petral Bambang Irianto ditetapkan KPK sebagai tersangka mafia minyak dan gas bumi (migas) pada 2019. Dia diduga menerima hadiah atau janji terkait kegiatan perdagangan minyak mentah dan produksi kilang di Pertamina.
Kasus itu bermula ketika Bambang ditunjuk menjadi VP Marketing Pertamina Energy Service Pte. Ltd (PES) pada Mei 2009. Dia membantu mengamankan jatah alokasi kargo Kernel Oil dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah dan produk kilang.
Sebagai imbalannya, Bambang menerima sejumlah uang melalui rekening bank di luar negeri. Dia bahkan sempat mendirikan Siam Group Holding Ltd yang berkedudukan hukum di British Virgin Island untuk menampung penerimaan tersebut.
9. Ariffi Nawawi
Eks Direktur Utama Pertamina periode 2003-2004 Ariffi Nawawi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penjualan tanker very large crude carrier (VLCC). Kasus VLCC berawal pada 11 Juni 2004 ketika Direksi dan Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker dengan nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses produksi di Korea Selatan.
Penjualan itu dilakukan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline tanpa persetujuan Menteri Keuangan (Menkeu). Hal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991.
10. Alfred Hadrianus Rohimone
Selain Ariffi, mantan Direktur Keuangan Pertamina Alfred Hadrianus Rohimone juga menjadi tersangka dalam kasus penjualan tanker VLCC. Kasus tersebut diperkirakan merugikan keuangan negara sekitar 20 juta dolar Amerika Serikat.
11. Suroso Atmo Martoyo
Mantan Direktur Pengolahan Pertamina Suroso Atmo Martoyo ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemberian suap proyek bensin tetraethyl lead (TEL) pada 2004-2005, yang dikenal sebagai perkara Innospec.
Dia diduga menerima suap dari Direktur PT Sugih Interjaya (SI), Willy Sebastian Liem sebesar 190 ribu dolar AS supaya menyetujui Innospec melalui PT SI untuk menjadi pemasok TEL pada kilang-kilang Pertamina periode Desember 2024 dan 2005.
Tak hanya itu, Willy juga membayarkan biaya perjalanan Suroso ke London, Inggris. Kemudian, petinggi Innospec David P Turner membayarkan fasilitas menginap di Hotel May Fair Radisson Edwardian pada 23-26 April 2005 senilai 749,66 poundsterling dan di hotel Manchester UK pada 27 April 2005 sebesar 149,5 poundsterling.
12. Luhur Budi Djatmiko
Pada 2024, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menetapkan Direktur Umum Pertamina periode 2012-2014 Luhur Budi Djatmiko sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi pembelian tanah di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan oleh Pertamina pada 2013-2014.
Pembelian tanah itu diduga melawan hukum, karena adanya mark-up harga. Atas perbuatan Luhur, total kerugian negara menurut hasil perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diperkirakan sebesar Rp 348,69 miliar.
Bagaimana dengan korupsi di PT PLN?
PT PLN juga berulang kali terseret kasus dugaan korupsi. Hal ini kemudian menimbulkan tanda tanya, bagaimana dengan perusahaan pengawasan pelat merah yang masuk dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.
Sejauh ini fungsi pengawasan salah satunya dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang melakukan pemeriksaan terhadan PT PLN secara berkala.
Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan kinerja, pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Namun masih saja terjadi dugaan rasuah.
Hal ini ditandai dengan kasus dugaan korupsi yang sudah terang-terangan terbuka 'menyetrum' petinggi PLN, yakni:
1. Eddie Widiono
Mantan Direktur Utama PLN Eddie Widiono dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Vonis itu dibacakan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (21/12/2011).
"Menyatakan Saudara Eddie Widiono secara sah dan menyakinkan bersalah dengan vonis lima tahun penjara," kata Ketua Majelis Hakim Tjokorda Rae Suamba.
Selain itu, Eddie juga didenda sebesar Rp 500 juta atau subsider hukuman penjara enam bulan. Ia juga diminta membayarkan uang pengganti Rp 2 miliar atau penjara dua tahun bila tak dibayarkan dalam satu bulan.
Hakim menyatakan Eddie bersalah dalam kasus korupsi proyek outsourcing Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya (Disjaya) Tangerang tahun 2004-2007. Kasus ini terjadi saat Eddie menjabat sebagai Direktur Utama PLN periode 2001-2008.
Menurut jaksa penuntut umum Muhibudin, Eddie melakukan korupsi karena memerintahkan penunjukan langsung kepada PT Netway Utama sebagai kontraktor proyek. Eddie didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain sehingga merugikan keuangan negara setidak-tidaknya Rp 46,1 miliar.
Dalam hal penunjukan kontraktor, Eddie tak melibatkan Komisaris PLN. Komisaris bahkan tak pernah menyetujui penunjukan langsung terhadap PT Netway Utama, kontraktor proyek tersebut. Jajaran komisaris sangat lama menelaah rencana proyek CIS RISI di Disjaya Tangerang.
Bahkan, sejak dibahas tahun 2001 hingga setahun kemudian, dia dan Komisaris PLN periode 1999-2002 lainnya belum menyetujui proyek itu diadakan. Termasuk soal menunjuk langsung PT Netway sebagai rekanan.
Perbuatan korupsi dilakukan Eddie secara sendiri ataupun bersama-sama dengan eks General Manager PLN Disjaya Tangerang Margo Santoso, Fahmi Mochtar, serta Direktur Utama PT Netway Utama Gani Abdul Gani.
Eddie disebut jaksa memperkaya diri sendiri Rp 2 miliar, memperkaya Margo Rp 1 miliar, Fahmi Rp 1 miliar, dan Gani Rp 42,1 miliar.
Dalam perkara ini, jaksa sebelumnya menuntut Eddie hukuman pidana tujuh tahun penjara. Dalam dakwaan primer, Eddie dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sedangkan dalam dakwaan subsider, Eddie dijerat Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
2. Dahlan Iskan
Pada Juni 2015, Kejaksaan DKI Jakarta menetapkan Dahlan Iskan -sebagai mantan direktur utama PT Perusahaan Listrik Negara- sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara pada 2011-2013.
Dahlan ditetapkan sebagai tersangka dalam posisi sebagai kuasa pengguna anggaran dalam kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk tersebut.
Kejaksaan mengusut kasus ini sejak Juni 2014 setelah menerima laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap proyek senilai Rp1,06 triliun ini.
Menolak semua sangkaan, Dahlan kemudian mengajukan gugatan praperadilan Dahlan Iskan terhadap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Dalam putusannya pada Agustus 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya gugatan praperadilan Dahlan Iskan terhadap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Alasannya, majelis hakim sependapat bahwa Dahlan terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka, baru kemudian dicari alat buktinya. Padahal untuk bisa menetapkan seseorang tersangka, seharusnya sudah ada dua alat bukti yang cukup.
3. Nur Pamudji
Nur Pamudji menjabat Dirut PLN periode 2011-2014. Nur Pamudji divonis enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta atas perbuatannya. Pengadilan Tinggi DKI memperberat hukumannya menjadi tujuh tahun penjara.
Bareskrim Polri menetapkan Nur Pamudji sebagai tersangka pada 15 Juli 2015, dan setelah menyidik selama empat tahun, kemudian menyerahkan perkara ke Kejaksaan pada 16 Juli 2019.
Selanjutnya kejaksaan menyusun dakwaan dan menyerahkan perkara ke Pengadilan Tipikor pada 10 September 2019. Kasus ini bermula saat PLN membuka tender untuk memenuhi kebutuhan 9 juta ton BBM.
Sebanyak 2 juta ton dibagi menjadi lima tender. Sedangkan sisanya, 7 juta ton diadakan Pertamina tanpa melalui tender.
Ia didakwa telah merugikan keuangan negara Rp 188,7 miliar terkait pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis High Speed Diesel (HSD) tahun 2010.
Namun, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi Nur Pamudji. Dengan putusan kasasi itu, Nur Pamudji lepas dari vonis hukuman tujuh tahun penjara.
Juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, saat itu menyatakan vonis lepas itu dijatuhkan lantaran perbuatan Nur Pamudji dinilai merupakan bukan pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan.
"Vonis ditolak karena tidak beralasan hukum. Sedangkan alasan kasasi terdakwa dapat dibenarkan, sehingga meskipun perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana," kata Andi dalam pernyataan tertulis, Senin (19/7/2021).
4. Sofyan Basir
Direktur Utama PT PLN (Persero) 2016-2019 Sofyan Basir terseret dalam perkara suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sofyan telah divonis bebas dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam perkara dugaan pembantuan kesepakatan proyek PLTU Riau-1.
KPK meyakini bukti yang kami hadirkan di persidangan kuat. Sofyan Basir didakwa sebagai pembantu dalam tindak pidana korupsi suap yang dilakukan oleh Eni M Saragih (mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR), Idrus Marham (mantan Menteri Sosial), dan Johannes B Kotjo (pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd) yang telah dijatuhi vonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Adapun bukti keterlibatan Sofyan, yakni untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd, dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
"Padahal terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, suap Rp4,75 miliar dari Kotjo," ucap Febri Diansyah, Juru Bicara (Jubir) KPK, Rabu (6/11/2019).
Oleh karena itu, KPK menerapkan pasal suap yang dihubungkan dengan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHP.
Peran terdakwa Sofyan sebagai pembantu dalam tindak pidana korupsi. Pertama, mempertemukan Eni dan Kotjo dengan Direktur Pengadan Strategis 2 PT PLN dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU Riau-1. Pertemuan dilakukan di kantor dan rumah terdakwa.
Kedua, meminta pada Direktur Perencanaan PT PLN sebagai jawaban dari permintaan Eni dan Kotjo agar proyek PLTU Riau-1 tetap dicantumkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017-2026.
Ketiga, menandatangani Power Purchase Agreement (PPA) proyek pada 29 September 2017 sebelum semua prosedur dilalui dan hal tersebut dilakukan tanpa membahas dengan Direksi PLN lainnya. Adapun, PPA secara resmi tertanggal 6 Oktober 2017.
"Padahal, saat PPA ditandatangani belum dimasukkan proposal penawaran anak perusahaan, belum ada penandatanganan LoI (letter of intent) belum dilakukan persetujuan dan evaluasi dan negosiasi harga jual-beli listrik antara PLN dengan anak perusahaan atau afiliasi lainnya," kata Febri.
KPK dan Kejagung 'Amnesia' dengan kasus ini?
Kasus dugaan megakorupsi di PLN sudah lama ditangani oleh KPK dan KPK. Bahkan KPK dikabarkan sudah menetapkan tersangka di kasus proyek PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) yang merugikan negara raturan miliar rupiah.
Namun, kasus korupsi PT PLN Sumbagsel hingga kini tak kemajuan berarti. Begitu juga dengan kasus yang disidik penyidik Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung pada Juli 2022 lalu, kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) pada 2016 hingga saat ini masih nihil tersangka.
Padahal Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mendukung Kejagung dalam hal bersih-bersih di kementerian itu.
Entah apa alasan Kejagung belum menyeret tersangka dalam kasus ini. Kasus tower transmisi naik ke tahap penyidikan dari penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022.
Ketut yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali menerangkan kasus ini bermula pada 2016, saat itu PT PLN sedang melakukan kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set dengan anggaran Rp 2,2 triliun.
Proyek pengadaan tower itu dilaksanakan oleh PT PLN dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) serta 14 penyedia pengadaan tower.
"Adapun kasus posisi dalam perkara ini yaitu bahwa PT PLN (Persero) pada 2016 memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan Rp 2.251.592.767.354 (triliun). Dalam pelaksanaan, PT PLN (Persero) dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) serta 14 penyedia pengadaan tower pada 2016," kata Ketut Sumedana dalam keterangan persnya, Selasa (26/7/2022) silam.
Dalam prosesnya, kata Ketut, pengadaan tower transmisi ini melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan. Perbuatan itu, kata Ketut, menimbulkan kerugian keuangan negara.
"Telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dalam proses pengadaan tower transmisi PT PLN (Persero) yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara," kata Ketut.
Tak hanya itu, kata Ketut, dokumen perencanaan pengadaan proyek pada 2016 juga tidak pernah dibuat. Sementara itu, pengadaan tower ini menggunakan daftar penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 yang seharusnya menggunakan produk DPT 2016.
"Dokumen perencanaan pengadaan tidak dibuat, menggunakan daftar penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower, padahal seharusnya menggunakan produk DPT yang dibuat pada 2016, namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat," ujar Ketut.
Ketut mengungkap PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodasi permintaan dari Aspatindo.
Hal itu pula yang mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka. Dalam hal ini, Ketua Aspatindo juga menjabat Direktur Operasional PT Bukaka.
PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak Oktober 2016 hingga Oktober 2017. Realisasi pekerjaan itu sebesar 30 persen.
"PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak (Oktober 2016-Oktober 2017) dengan realisasi pekerjaan sebesar 30 persen," ujar Ketut.
Lalu, pada November 2017 hingga Mei 2018, penyedia tower tetap mengerjakan pengadaan tower tanpa legal standing. Hal itu kemudian memaksa PT PLN melakukan adendum yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun.
"Selanjutnya, pada periode November 2017 sampai Mei 2018, penyedia tower tetap melakukan pekerjaan pengadaan tower tanpa legal standing yang kondisi tersebut memaksa PT PLN (Persero) melakukan adendum pekerjaan pada Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun," kata Ketut.
Kasus Sumbagsel
Sama halnya di KPK, juga tengah mengusut kasus dugaan rasuah di PT PLN. Adalah soal proyek PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel). Hanya saja, KPK sudah menetapkan tersangka dalam kasus yang sedang disidik itu.
Hal ini sebagaimana pada aturan di KPK bahwa jika sudah naik ke tahap penyidikan maka sudah ada tersanka. Sementara di Kejagung hingga saat ini belum ada tersangka terkait kasus di PT PLN itu.
Sudah sejak lama, aparat penegak hukum tak berani mengungkap kasus dugaan korupsi di perusahaan pelat merah itu. Setiap tahun PT PLN dalam laporan keuangannya selalu merugi padahal, perusahaan itu tunggal dalam mengelola listrik negara.
Dari penelusuran Monitorindonesia.com, proyek-proyek PT PLN di sejumlah titik sudah diatur sedemikian rupa. Anggaran bahkan diduga mark up hingga 100 persen. Sebagai contoh, dalam proyek penataan kabel-kabel listrik yang menjuntai di sepanjang jalan protokol di Jakarta, PT PLN Persero menganggarkan hingga Rp 12 juta per meter.
Korupsi Proyek HDD
Proyek itu juga "dijual" ke sub kontraktor dengan nilai penawaran Rp 5-6 juta per meter dengan menggunakan Mesin boring HDD (Horizontal Direct Drilling).
"Dengan harga Rp 2,1 juta saja kami masih ada sisa, padahal, yang kita tahu dari PLN ke main kontraktor angkanya cukup besar antara Rp 10-12 juta per meter," ungkap salah seorang perusahaan sub kontraktor yang menggunakan mesin HDD di Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.
Ketika ditanya kenapa hanya bekerja sebagai sub kontraktor kalau bisa mengerjakan proyek HDD di harga Rp 2.1 juta per meter, dia mengatakan sangat sulit perusahaannya masuk berkompetisi di PT PLN persero.
"Enggak mungkin kami bisa menang tender sekalipun harga penawaran kami jauh lebih murah. Separuh dari harga yang dibuat PLN saja kami masih ada untung kok. Ini yang kami kerjakan selama ini".
"Proyek-proyek PLN itu sudah diatur (PLN) bersama pembesar-pembesar. Perusahaan seperti kami gak bakalan menang tender, sekalipun kami sebenarnya yang banyak mengerjakan proyek-proyek (PLN) selama ini," ungkapnya.
Bisa dibayangkan, dari proyek penataan kabel menggunakan mesin bor HDD yang ada di Jakarta saja bisa mencapai puluhan kilometer setiap tahun. Nilai proyeknya mencapai triliunan rupiah.
Indonesian Ekatalog Wacth (INDECH) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gerak cepat untuk menyelamtkan keuangan negara i tubuh PT PLN.
Terkini, INDECH mendesak KPK untuk membuka penyelidikan 20 proyek besar di PT PLN (Persero) tahun 2016-2019 di sejumlah daerah di Indonesia. Termasuk proyek pengadaan dan pembangunan kabel Bawah tanah Gandul-Kemang tahun 2022.
Proyek yang merugikan negara hingga triliunan rupiah harus menjadi perhatian khusus KPK karena diduga melibatkan banyak vendor seperti PT Kabel Metal Indonesia (KMI), PT Sucaco, PT Berca, PT Prysmian Cable dan lainnya.
Sebanyak lima vendor cable yang mendapatkan proyek "arisan" dari PT PLN dalam kurun waktu 2016-2019. Vendor cable tersebut masing-masing berbagi wilayah kerja mulai dari Sumatera, Jawa, Bali hingga Makassar.
Proyek itu dikerjakan dengan metode Pengeboran Horisontal Terarah/Horizontal Directional Drilling ( HDD) merupakan metode konstruksi/pengeboran tanpa galian dengan menggunakan mesin bor dengan langkah kerja terakhirnya adalah “menarik” pipa atau utilitas lainnya ke dalam lubang bor.
Dari hasil penelusuran tim investigasi Monitorindonesia.com di sejumlah daerah, sedikitnya 20 lokasi proyek penanaman kabel milik PT PLN (persero) pada tahun 2016-2019.
Lokasi dan perusahaan yang mengerjakan itu diantaranya, PT Pharma (Makassar), PT Kencana Sakti Indonesia dan PT Citra Gentari Indonesia di kawasan Cawang (Jakarta) dan Palembang dengan vendor PT BICC (Berca).
Sedangkan vendor PT Sucaco menggandeng PT Pharma, PT Jamindo dan PT SAJ dengan lokasi pekerjaan Makassar, Cilegon, Kebon Jeruk, Ancol dan lainnya. Sedangkan vendor Kabel Metal Indonesia (KMI) menggandeng PT CME di Bali.
Sebagaimana diketahui, proyek penanaman kabel dengan metode HDD di kurun waktu 2016-2019 tersebut mencapai ratusan kilometer. PT PLN mengucurkan dana dana yang sangat besar untuk proyek tersebut.
PT PLN menetapkan Harga HDD untuk 3 pipa sebesar Rp 12 juta per meter. Sementara untuk ukuran 6 pipa sebesar Rp 16 juta per meter.
Sementara untuk ukuran 12 pila Rp 24 juta per meter. Belum lagi pengadaan cable 150 KV yang diadakan vendor yang harganya tak kalah mahal juga.
Dalam pelaksanaan proyek di kurun waktu 2016-2019, vendor menggandeng sejumlah kontraktor binaan PT PLN.
Vendor cable memberikan pekerjaan kepada kontraktor binaan atau yang diajukan pejabat PT PLN untuk mengerjakan proyek fisik seperti HDD. Perusahaan vendor berfungsi sebagai penyedia kabel yang sudah tercantum dalam ekatalog.
KMI-CME
Indonesian Ekatalog Watch (INDECH) pun sudah mengendus dugaan mega korupsi di tubuh PT PLN tersebut.
INDECH merujuk Harga satuan pekerjaan HDD per meternya hanya Rp 2,1 juta sebagaimana terungkap dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 847/Pid.B/2020/PN.Jak.Sel, tanggal 26 Oktober 2020.
PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Timur dan Bali, telah melaksanakan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa II Tahun 2018 yang merupakan bagian dari proyek HDD 2016-2019.
Dalam putusan PN Jaksel tersebut, Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Timur Dan Bali telah menunjuk PT Kabel Metal Indonesia (KMI).
KMI memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada PT CME. Selanjutnya, PT CME memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada PT Ida Iasha Nusantara (IIN).
PO sebagai bentuk SPK pemberian kerja dari PT. CME kepada PT. IIN dengan Nomor :162/PT-CME/V/2018, tanggal 4 Mei 2018 perihal PO jasa HDD untuk pengerjaan UCG Pecatu - Nusa Dua Bali senilai Grand total Rp. 31.185.000.000. Nomor :163/PT-CME/V/2018, tanggal 4 Mei 2018 perihal PO jasa HDD untuk pengerjaan UCG Pecatu - Nusa Dua Bali senilai Grand total Rp. 27.720.000.000.
Pada kenyataannya PT. Ida Iasha Nusantara hanya mengerjakan pekerjaan 9.636.35 meter HDD dari kontrak di 12.600 meter yang menjadi objek pekerjaan. Harga per meter Rp 4.400.000 (Rp. 31.185.000.000 Rp 27.720.000.000) dibagi 12.600 meter.
Selanjutnya, PT Ida Iasha Nusantara memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada PT. Surya Cipta Teknik (SCT).
Harga HDD yang disepakati oleh PT IIN dengan PT SCT sebesar Rp 3.400.000. Dan perkiraan Direktur PT IIN, biaya maksimal pekerjaan HDD hanya Rp 2.100.000 per meter. Artinya untuk proyek HDD Bali yang totalnya 30 kilometer tiga kali di sub kontrakkan.
Mark Up Rp 9 Juta/meter
"Dari fakta persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan jelas disebut pekerjaan harga HDD hanya Rp 2,1 juta per meter. Hasil pekerjaan diterima PLN dengan baik ya. Sementara PT PLN membuat harga Rp 12 juta meter. Kalaupun ada tambahan harga pipa (bungkus kabel), hitungan kami tidak sampai Rp 1 juta. Artinya pekerjaan HDD bisa selesai dengan baik Rp 3 juta per meter. PLN kucurkan Rp 12 juta per meter. Ada dugaan mark up Rp 9 juta per meter," ungkap Sekretaris Sekjen INDECH Order Gultom beberapa waktu lalu.
Dengan adanya dugaan markup Rp 9 juta per meter,. Jumlah proyek HDD di 20 lokasi sepanjang 2016-2019 di sejumlah daerah di Indonesia mencapai ratusan kilometer sehingga kerugian negara di proyek HDD bisa mencapai triliunan rupiah dalam kurun waktu itu. Kerugian negara itu masih di proyek fisik yang dikerjakan oleh kontraktor HDD belum lagi pengadaan cable oleh vendor.
"KPK harus segera membuka penyelidikan ata proyek HDD di PLN selama ini. Kami siap memberikan data dan nama-nama perusahaan yang selama ini kami tengarai bersekongkol dengan oknum petinggi PT PLN ke KPK. Kuat dugaan kami para oknum pejabat PLN menitip harga ke kontraktor. Pekan depan INDECH akan melaporkan kasus ini ke KPK," kata Order.
Sebelumnya diberitakan, PT IIN memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.300.000 hanya sebagai perusahaan perantara dari kontraktor PT CME mitra PT KMI. Sedangkan PT SCT bisa mengerjakan proyek HDD hingga tuntas dan diterima oleh PLN senilai Rp 2,1 juta per meter.
"PT IIN yang hanya sebagai perantara saja dalam proyek itu bisa mendapatkan fee sebesar Rp 2,3 juta per meter. Logikanya PT CME sebagai main kontraktor tentu mendapatkan bagian yang jauh lebih besar lagi dari PT IIN. Artinya, dalam perencanaan di PLN ada dugaan mark up hingga ratusan persen untuk pekerjaan HDD ya," tambah Order.
INDECH menduga Pekerjaan SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua, telah terjadi kemahalan harga. SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua memiliki Panjang 30.000 meter (30 kilometer). Bila dikalkulasi kerugian negara hanya untuk pekerjaan HDD Pecatu-Nusa Dua saja (vendor KMI) mencapai Rp 63 miliar.
Sementara pekerjaan HDD di seluruh wilayah kerja PT PLN (Persero) bisa mencapai ratusan kilometer setiap tahun. Artinya kerugian negara hanya pekerjaan HDD saja negara dirugikan triliunan rupiah setiap tahun.
Pengalihan pekerjaan SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua, melanggar peraturan di bidang pengadaan barang dan jasa.
“Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh atau sebagian pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun, kecuali disubkontrakkan kepada Penyedia Barang/Jasa yang memiliki kompetensi dalam bidang tersebut, dengan persetujuan Pengguna Barang/Jasa.”
Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasojo Ketika dikonfirmasi terkait kasus ini masih enggan memberikan keterangan. Pesan singkat yang dikirimkan Monitorindonesia.com ke ponselnya juga belum dijawab hingga berita ini diturunkan.
Jika saja KPK dan Kejagung membongkar habis kasus dugaan korupsi di PT PLN ini bukan tidak mungkin banyak yang terseret.
Bahkan bisa saja kerugian negara lebih besar daripada kasus di PT Pertamina itu. Semua itu tergantung daripada modus para pelaku dan keberanian aparat penegak hukum mengungkapnya.
"Semua cerita pengadilan korupsi akan berubah? Korupsi di Indonesia hanya bisa diatasi munculnya Presiden benar negarawan, jujur dan berani menghukum mati para koruptor".
Sumber: MonitorIndonesia
Artikel Terkait
Firdaus Akui Dibayar Puluhan Juta Sekali Podcast, Hotman Desak Richard Lee Bongkar Honor sang Seteru
Mafia Impor Bawang Putih Diduga Kongkalikong Dua Kementerian
Kronologi 2 Pendaki Perempuan, Lilie dan Elsa Tewas Akibat Hipotermia di Gunung Cartenz Papua
Lemak Perut Ternyata bisa Meningkatkan Kesehatan Otak?