Prabowo Tak Masuk Daftar SBY: 'Sekadar Lupa atau Ada Makna?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden keenam Republik Indonesia, baru-baru ini membuat pernyataan yang menarik tentang tiga pemimpin dunia paling berpengaruh: Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Donald Trump.
Tidak ada kejutan di sini. Semua orang tahu bahwa daftar itu memang mencerminkan realitas geopolitik global.
Namun, justru di situlah letak keanehannya—apa sebenarnya maksud dari pernyataan SBY ini?
Mari kita telaah!
Pertama, pernyataan ini bukanlah breaking news. Semua orang, bahkan yang hanya sesekali membaca berita internasional, tahu bahwa China, Rusia, dan Amerika Serikat adalah tiga kekuatan besar dunia.
Jadi, jika tujuan SBY adalah mengedukasi publik tentang fakta yang sudah kita ketahui, maka misi tersebut telah gagal sejak awal. Yang lebih menarik adalah efek komunikasi dari pernyataan ini.
Seolah-olah SBY sedang ingin mengatakan bahwa dirinya memiliki hubungan khusus dengan dua dari tiga pemimpin dunia tersebut.
Ia berkisah tentang persahabatannya dengan Xi Jinping selama tiga tahun dan hubungan dekatnya dengan Putin selama satu dekade.
Ah, sungguh manis, bukan? Namun, jangan lupakan bagian terbaiknya: Donald Trump.
SBY dengan jujur mengakui bahwa ia tidak sempat membangun hubungan dengan Trump, tetapi tetap memasukkan namanya dalam daftar.
Sebuah pendekatan unik—seakan menyebut seorang teman dekat di pesta reuni meskipun mereka belum pernah bertemu.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dalam daftar SBY, tidak ada nama pemimpin Indonesia yang disebut sebagai figur berpengaruh, apalagi Prabowo Subianto.
Bisa jadi ini hanyalah kebetulan, tetapi bisa juga menjadi sinyal politik yang lebih dalam.
Apakah ini bentuk sindiran halus bahwa pemimpin Indonesia saat ini belum mencapai level pengaruh yang layak diperhitungkan di panggung dunia?
Ataukah ini sekadar refleksi dari nostalgia SBY akan masa kejayaannya saat ia masih sering berjabat tangan dengan para pemimpin dunia?
Lebih lanjut, SBY juga membagikan kisah heroiknya tentang bagaimana ia diundang oleh George W. Bush untuk bergabung dalam G20.
Seolah-olah ini adalah sebuah pengakuan global terhadap dirinya secara pribadi, bukan terhadap negara yang ia pimpin.
“Saya di Jakarta, diminta pandangan saya tentang G20,” katanya dengan bangga.
Sebuah cara diplomatis untuk menyatakan bahwa ia adalah bagian penting dari percaturan politik dunia—walaupun kita tahu bahwa undangan tersebut ditujukan kepada Indonesia, bukan kepada individu tertentu.
Pernyataan SBY ini lebih mirip dengan sebuah pidato nostalgia ketimbang analisis politik serius.
Ia mengingat kembali masa-masa ketika ia berada di puncak kekuasaan, ketika dunia masih menghormatinya, ketika ia masih bisa bercanda dengan pemimpin dunia dalam pertemuan G20. Beautiful years, katanya.
Dan mungkin, itulah esensi dari semua ini: sebuah kerinduan akan masa lalu yang indah, ketika ia merasa relevan dan dihormati.
Namun, dunia telah berubah. Xi Jinping, Putin, dan Trump—bahkan Trump sendiri sudah bukan presiden—telah bergerak dengan agenda baru mereka. Indonesia pun memiliki pemimpin baru dengan tantangan yang berbeda.
SBY boleh bernostalgia, tetapi pertanyaannya tetap sama: di mana relevansi dari semua ini bagi rakyat Indonesia hari ini? ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Pemerintahan Prabowo Dipuji KSPSI, Rezim Jokowi Disindir Doyan Impor
Setelah Rp197 Triliun Hilang, Apa Jaminan Korupsi BBM Tidak Terulang?
Hari Peduli Sampah Nasional 2025, Universitas Alma Ata Lakukan Aksi Pungut Sampah di Pantai Baru Bantul
FANTASTIS! Riza Chalid, Sosok Teo Dollar dengan Pendapatan Rp9 Miliar per Hari