'Uang Rakyat dan Bayangan Danantara'
Di sebuah warung kecil di pinggiran kota, seorang lelaki paruh baya menyeruput kopi hitamnya perlahan. Di seberang meja, temannya membuka surat kabar yang baru dibeli.
Mereka tidak sedang membaca berita olahraga atau gosip selebritas. Mata mereka tertuju pada satu kata yang akhir-akhir ini sering muncul di berita: Danantara.
“Dana abadi,” kata si lelaki, membaca keras-keras. “Katanya bisa bikin ekonomi tumbuh sampai 8%.”
Temannya tertawa kecil, bukan karena geli, tetapi karena sudah terlalu sering mendengar janji-janji semacam ini.
“Uang siapa yang mereka pakai?” tanyanya.
“Ya uang kita, uang rakyat,” jawabnya sambil mengaduk kopi yang sudah hampir habis.
Percakapan ini bukan milik dua orang itu saja. Di banyak sudut kota, di desa-desa yang jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, pertanyaan serupa menggema.
Uang rakyat, yang dipungut dari pajak, dari keringat buruh, dari harapan petani, kini berlabuh di lembaga yang katanya akan membawa Indonesia ke masa depan yang lebih cerah.
Tapi apakah benar begitu?
Sebuah Janji Besar
Pada 24 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto meresmikan Danantara, Dana Abadi Nusantara Indonesia.
Lembaga ini digadang-gadang sebagai sovereign wealth fund (SWF) terbesar yang akan mengelola lebih dari US$900 miliar dalam bentuk aset negara.
Danantara didesain seperti Temasek Holdings di Singapura atau 1MDB di Malaysia (meskipun yang terakhir lebih dikenal karena skandalnya).
Pemerintah mengatakan, dana ini akan menjadi mesin ekonomi baru yang mengoptimalkan kekayaan negara dengan mengelola saham di berbagai BUMN utama: Bank Mandiri, BRI, Pertamina, PLN, Telkom Indonesia, dan lainnya.
Rencananya, Danantara akan menginvestasikan US$20 miliar ke lebih dari 20 proyek strategis, mencakup sektor pengolahan logam, kecerdasan buatan, kilang minyak, energi terbarukan, dan produksi pangan. Semuanya tampak indah di atas kertas.
Tetapi di negara yang telah berkali-kali dikecewakan oleh skandal dana publik, pertanyaan utama tetap sama: Apakah ini benar-benar untuk rakyat, atau hanya permainan elit?
Politik, Uang, dalam Lembaga Investasi
Sejarah menunjukkan bahwa ketika ada dana besar yang dikelola tanpa transparansi ketat, selalu ada risiko penyimpangan.
Danantara, dengan modal raksasa dan wewenang besar, memiliki potensi menjadi salah satu entitas ekonomi paling berpengaruh di Indonesia.
Tetapi siapa yang mengelola Danantara?
Pemerintah menunjuk Rosan Roeslani sebagai CEO dan Pandu Sjahrir sebagai Kepala Unit Investasi. Rosan Roeslani adalah mantan Ketua Kadin dan Dubes Indonesia untuk AS—figur yang tidak asing dalam lingkaran elite bisnis dan politik.
Sementara Pandu Sjahrir adalah pengusaha muda yang juga memiliki jaringan luas dalam industri keuangan dan teknologi.
Kedua sosok ini memiliki pengalaman dalam dunia bisnis, tetapi juga punya kedekatan dengan lingkaran kekuasaan.
Maka, wajar jika muncul pertanyaan: apakah mereka akan bertindak murni sebagai profesional, ataukah akan ada kepentingan politik yang ikut bermain?
Ketika lembaga investasi negara berada dalam genggaman orang-orang yang terlalu dekat dengan kekuasaan, risiko intervensi politik menjadi lebih tinggi.
Alih-alih berfokus pada keuntungan bagi negara, keputusan investasi bisa saja didorong oleh kepentingan kelompok tertentu.
Dan di negara seperti Indonesia, di mana politik adalah permainan uang, risiko itu tidak bisa dianggap remeh.
Ancaman Sentralisasi Kekayaan Negara
Salah satu kritik terbesar terhadap Danantara adalah potensi sentralisasi kekayaan negara. Dengan mengelola hampir seluruh saham BUMN strategis, Danantara akan memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian nasional.
Jika dijalankan dengan benar, ini bisa menjadi alat modernisasi ekonomi yang kuat. Tetapi jika tidak, ini bisa menjadi kartel negara yang sulit dikontrol.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Kita sudah pernah melihat bagaimana korupsi di tubuh BUMN menggerogoti ekonomi nasional. Kasus Jiwasraya, Asabri, dan skandal-skandal lainnya menunjukkan bahwa ketika uang rakyat dikelola tanpa pengawasan ketat, hasilnya adalah kehancuran.
Apakah Transparansi Bisa Dijamin?
Presiden Prabowo dalam pidatonya berjanji bahwa Danantara bisa diaudit oleh siapa saja, kapan saja. Tetapi pertanyaannya: apakah mekanisme audit ini akan benar-benar independen?
Di Indonesia, transparansi sering kali hanya ada di permukaan. Badan-badan yang seharusnya menjadi pengawas sering kali tidak memiliki cukup daya untuk bertindak tegas.
Jika Danantara menjadi lembaga yang terlalu kuat secara politis, siapa yang akan berani mengauditnya dengan jujur?
Kita sudah melihat bagaimana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kadang-kadang tidak memiliki gigi ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga yang terlalu kuat. Kita juga tahu bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengalami pelemahan serius.
Tanpa pengawasan yang benar-benar independen, apakah Danantara hanya akan menjadi ‘kerajaan bisnis’ baru di dalam negara?
Demokrasi yang Mahal, Kebijakan yang Murah
Ketika politik menjadi mahal, demokrasi menjadi barang yang sulit dibeli oleh rakyat biasa. Danantara, dengan seluruh kekuatannya, bisa saja menjadi bagian dari oligarki ekonomi-politik baru yang semakin memperlebar jurang ketimpangan.
Kita telah melihat bagaimana kekayaan negara sering kali hanya berputar di antara segelintir orang. Lalu, di mana tempat rakyat dalam skema besar ini?
Di jalan-jalan, masih ada tukang ojek yang berjuang untuk mendapatkan penumpang pertama hari itu. Di pasar, ada ibu-ibu yang menghitung lembaran uang terakhir sebelum membeli beras. Di desa, ada anak-anak yang masih harus berjalan jauh untuk bisa sekolah.
Jika Danantara benar-benar untuk rakyat, kapan dampaknya akan terasa di dapur mereka?
Harapan atau Bahaya?
Danantara bisa menjadi langkah maju yang besar, tetapi juga bisa menjadi bom waktu ekonomi jika dikelola dengan cara yang salah.
Seharusnya, lembaga ini benar-benar diawasi dengan ketat. Dewan pengawasnya harus transparan, laporan keuangannya harus bisa diakses publik, dan semua keputusannya harus berbasis kepentingan rakyat, bukan oligarki.
Namun, jika mekanisme kontrolnya lemah, Danantara bisa menjadi lebih berbahaya daripada bermanfaat. Ia bisa menjadi alat politik, kendaraan bisnis kelompok tertentu, atau bahkan skema investasi yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Uang rakyat, jika tidak dikelola dengan amanah, akan menguap begitu saja—menjadi angka-angka dalam laporan yang indah, tetapi kosong di dunia nyata.
Di Tangan Siapa Masa Depan Danantara?
Kini, semua kembali pada satu pertanyaan: Apakah Danantara benar-benar untuk rakyat?
Apakah ini akan menjadi langkah berani menuju ekonomi yang lebih mandiri, atau hanya episode baru dari politik uang yang telah lama menghantui bangsa ini?
Di warung kopi tadi, dua lelaki tua masih membicarakan berita pagi.
“Mungkin Danantara bisa bikin Indonesia maju,” kata salah satu dari mereka.
“Mungkin,” jawab temannya. “Tapi kita harus lihat dulu uang rakyat itu lari ke mana.”
Dan di luar sana, ratusan juta rakyat Indonesia menunggu jawaban yang sama.
Sumber: Inilah
Artikel Terkait
Tanggapi Dugaan Sukatani Diintimidasi, DPR: Kapolda Tidak Bisa Lepas Tanggung Jawab
Kata Pertamina: Tak Ada Oplosan Pertamax, hanya Penambahan Warna
Prabowo Masih Nanar: Linglung dan Bingung Dalam Kegelapan
Prabowo Masih Nanar: Lingling dan Bingung Dalam Kegelapan