Makna Graffiti 'Adili Jokowi' Yang Marak di Berbagai Kota Indonesia: Kritik Sosial atau Vandalisme?
Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Dalam beberapa hari terakhir, ruang publik di berbagai kota Indonesia dihiasi dengan graffiti bertuliskan "Adili Jokowi."
Coretan ini bukan sekadar vandalisme, melainkan bentuk ekspresi sosial yang mencerminkan aspirasi sebagian masyarakat terhadap pertanggungjawaban hukum bagi Presiden Jokowi atas kebijakan dan tindakannya selama satu dekade kepemimpinannya.
Meski demikian, tidak sedikit pihak yang berusaha menggeser narasi ini menjadi tindakan negatif, bahkan menekan media mainstream untuk menyebutnya sebagai vandalisme.
Beruntung, masih ada media alternatif yang tetap objektif dan menyebutnya sebagai graffiti—sebuah seni jalanan yang memiliki sejarah panjang dalam komunikasi sosial dan politik.
Graffiti "Adili Jokowi" di Berbagai Kota
Tulisan ini ditemukan di berbagai lokasi strategis di Indonesia, seperti:
Solo: Jl. Prof. Dr. Soeharso, Jl. Moh Husni Thamrin, Jl. Samratulangi, Jl. Ki Hajar Dewantoro, Jl. Tentara Pelajar.
Yogyakarta: 15 titik, termasuk halte Trans Jogja Jl. Sultan Agung, Jembatan Layang Lempuyangan, Simpang Empat Jetis, dan Stasiun Lempuyangan.
Medan: Jl. Jamin Ginting, Jl. Ngumban Surbakti, Jl. Setia Budi, Jl. William Iskandar, Jl. Sutrisno.
Malang: Pakishaji, Tugu Perbatasan Kota Kepanjen, Kantor DPC PPP di Jl. KH Agus Salim, Kantor DPD NasDem di Jl. Raya Sukoharjo.
Surabaya: Jl. Raya Jemursari, Jl. Raya Prapen, Kendangsari, Kecamatan Tenggilis Mejoyo.
Sejarah Graffiti: Dari Zaman Prasejarah hingga Kritik Politik
Graffiti bukan hal baru. Sejak zaman prasejarah, manusia sudah menggunakan coretan di dinding gua sebagai bentuk komunikasi dan ekspresi.
Contohnya adalah lukisan di Gua Lascaux (Prancis), Altamira (Spanyol), dan Gua Leang-leang (Sulawesi Selatan).
Di era Romawi dan Yunani Kuno, graffiti banyak ditemukan di dinding kota sebagai sarana protes sosial dan politik.
Contoh paling terkenal adalah coretan di kota Pompeii yang berisi sindiran dan keluhan masyarakat.
Di Indonesia, graffiti juga menjadi bagian dari sejarah perjuangan kemerdekaan.
Pada periode 1945-1949, slogan seperti "Merdeka atau Mati!" dan "Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!" banyak dituliskan di tembok dan gerbong kereta sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah.
Graffiti "404 Not Found" dan Kritik terhadap Pemerintahan Jokowi
Fenomena graffiti politik bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Pada 2021, graffiti bergambar wajah yang disebut mirip Jokowi dengan tulisan "404 Not Found" sempat viral.
Coretan ini muncul di kolong flyover Batuceper, Tangerang, sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan yang dianggap gagal memenuhi harapan rakyat.
Alih-alih memahami pesan tersebut, aparat justru buru-buru menghapusnya.
Padahal, di berbagai negara, graffiti semacam ini diakui sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Graffiti sebagai Ekspresi Demokrasi
Graffiti "Adili Jokowi" bukan sekadar coretan di tembok, melainkan suara masyarakat yang menginginkan akuntabilitas dari pemimpin mereka.
Menyamakan ini dengan vandalisme adalah bentuk penyempitan makna seni dan kebebasan berpendapat. Aksi ini tidak boleh berhenti hanya sebagai graffiti.
Jika gerakan ini mendapat dukungan luas, bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi aksi massa yang lebih besar, sebagaimana yang telah terjadi dalam sejarah demokrasi di berbagai negara.
Indonesia harus bergerak. Tidak cukup hanya mengkritik di media sosial atau mengikuti tren #KaburAjaDulu. Perubahan harus diperjuangkan! ***
Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
Artikel Terkait
Sosok Fatima, Perempuan yang Hadir di Antara Erdogan dan Prabowo
Sumpah Advokat Razman Nasution Dibekukan Imbas Gaduh di Pengadilan
Sambil Menahan Tangis, Mantan Jurnalis TVRI Ungkap Kecilnya Gaji Kontributor: Cuma Rp50 Ribu Per Berita
Duka Anggota TNI AL Bongkar Pagar Laut di Pesisir Tangerang, Tersengat Ikan Pari hingga Kail Pancing