POLHUKAM.ID - Utang jatuh tempo pemerintah Indonesia melonjak drastis pada periode 2025-2028 sebelum berangsur-angsur menurun.
Kenaikan ini merupakan dampak dari kebijakan pascapandemi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo pada 2024 tercatat sebesar Rp 434,29 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp 371,8 triliun, dan pinjaman Rp 62,49 triliun.
Namun, pada 2025, angka ini melonjak hampir dua kali lipat menjadi Rp 800,33 triliun, yang terdiri dari SBN sebesar Rp 705,5 triliun dan pinjaman Rp 94,83 triliun. Dikutip Rabu (12/2/2025).
Lonjakan terus berlanjut pada 2026 yang mencapai Rp 803,19 triliun, terbagi menjadi, SBN Rp 703 triliun dan pinjaman Rp 100,19 triliun, serta pada 2027 menjadi Rp 802,61 triliun, terdiri dari SBN Rp 695,5 triliun dan pinjaman Rp 107,11 triliun.
Pada 2028, utang jatuh tempo menjadi hanya sebesar Rp 719,81 triliun yang terdiri dari SBN Rp 615,2 triliun dan pinjaman Rp 104,61 triliun.
Jika ditotal periode 2025-2028, total utang jatuh tempo mencapai Rp 3.125,94 triliun.
Pembayaran utang ini harus dipenuhi oleh pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Setelah itu, terus turun hingga mencapai level terendah pada 2041 menjadi hanya sebesar Rp 30,8 triliun yang terdiri dari SBN Rp 27,4 triliun dan pinjaman Rp 3,47 triliun.
Per akhir April 2024, total utang pemerintah mencapai Rp 8.338,43 triliun.
Utang yang akan jatuh tempo terdiri dari Rp 600,85 triliun dalam waktu kurang dari satu tahun, Rp 1.762,25 triliun dalam 1-3 tahun, Rp 1.480,12 triliun dalam 3-5 tahun, Rp 2.437,57 triliun dalam 5-10 tahun, Rp 787,36 triliun dalam 10-15 tahun, Rp 573,11 triliun dalam 15-20 tahun, dan Rp 697,17 triliun untuk periode di atas 20 tahun.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa tingginya pembayaran utang yang jatuh tempo pada 2025-2027 disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Dimana saat itu Indonesia membutuhkan hampir Rp 1.000 triliun untuk pengeluaran tambahan, sementara penerimaan negara turun 19% akibat perlambatan ekonomi.
"Jadi kalau tahun 2020 maksimal jatuh tempo dari pandemi kita di 7 tahun dan sekarang di konsentrasi, di 3 tahun terakhir 2025, 2026 dan 2027, sebagian di 8 tahun. Ini yang kemudian timbulkan persepsi kok banyak yang numpuk," ujar Sri Mulyani.
"Itu biaya pandemi berdasarkan agreement antara kita dan BI untuk lakukan burden sharing agar negara BI baik, fiskal kredibel dan politik acceptable, kita sepakati instrumen itu," tambahnya.
Sri Mulyani menyatakan bahwa besarnya utang jatuh tempo pada 2025-2027 tidak akan menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, ekonomi, dan situasi politik Indonesia tetap positif.
Menurutnya, risiko yang dihadapi suatu negara bukan hanya dari besarnya utang yang jatuh tempo, tetapi dari kemampuannya untuk melakukan perpanjangan utang dengan biaya yang wajar.
"Kalau ada pokok yang jatuh tempo risiko yang dihadapi oleh suatu negara bukan pada magnitude, tapi pada kemampuan negara itu revolving pada biaya yang dianggap fair itu risiko jadi negara kalau kita kredibel, APBN baik, ekonomi baik, kondisi politik stabil maka revolving itu kecil karena negara ini dianggap sama," tuturnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (6/6/2024).
Dia juga menjelaskan, jika surat utang RI tidak jatuh tempo, maka surat utang yang dipegang tersebut akan revolving.
Namun, jika kondisi stabilitas ini terganggu, pemegang surat utang RI bisa melepasnya dan kabur dari RI.
Sumber: MonitorIndonesia
Artikel Terkait
Sosok Fatima, Perempuan yang Hadir di Antara Erdogan dan Prabowo
Sumpah Advokat Razman Nasution Dibekukan Imbas Gaduh di Pengadilan
Sambil Menahan Tangis, Mantan Jurnalis TVRI Ungkap Kecilnya Gaji Kontributor: Cuma Rp50 Ribu Per Berita
Duka Anggota TNI AL Bongkar Pagar Laut di Pesisir Tangerang, Tersengat Ikan Pari hingga Kail Pancing