Menurutnya, langkah tersebut menegasikan sikap Presiden Jokowi yang dianggap "inward looking" dikarenakan kerap absennya dalam pertemuan-pertemuan Internasional. Baginya, itu menegaskan kembali peran Indonesia dalam menerapkan politik bebas aktif, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
"Akhirnya, setelah hampir 8 tahun Jokowi enggan datang ke forum-forum internasional, sekarang saat yang tepat untuk memerankan politik bebas aktif, seperti diamanatkan oleh UUD 1945. Citra dan kesan bahwa Jokowi “inward looking” mulai pupus karena sering tidak pernah hadir dalam pertemuan-pertemuan internasional," kata Didik dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (30/6).
Bagi sang Rektor, keputusan yang diambil Jokowi cukup mengejutkan, mengingat tingginya resiko bahaya yang akan dihadapi, apalagi bersama Ibu Negara.
"Setelah bertemu Presiden Putin, misi perdamaian ini perlu dilanjutkan dalam kunjungan ke negara-negara besar di dalam G-20 sendiri, utamanya Cina, yang sekarang tetap menahan diri," kata dia.
Didik juga meminta Presiden Indonesia itu hadir dan berpidato di forum PBB untuk suarakan perdamaian dunia. Para menterinya pun disarankan persiapkan panggung jika momen ini mendapat sambutan baik dari kedua belah pihak.
Tak hanya itu, Didik juga meminta adanya diplomasi ke pihak Nato. Sebab, aliansi dibidang pertahanan itu bisa jadi sumber masalah yang akan datang.
"Memang aneh di masa damai dimana ekonomi merupakan prioritas utama seluruh dunia, Nato justru unjuk kekuatan dan menggerek misi mendominasi dunia," klaim Didik.
Lanjut Didik, Indoneisa kini ada di posisi yang strategis dan menguntungkan. Sebab, adanya kelembagaan G-20 dapat jadi penyeimbang yang lebih baik dibandingkan PBB.
"PBB sulit diharapkan berperan untuk mendamaikan perang Rusia Ukraina karena posisinya sudah berpihak," ucapnya.
Namun tetap saja, kata dia, misi perdamaian ini tidak cukup dilakukan oleh Indonesia sendiri. Perlu dilibatkan negara besar lainnya, agar bersikap seperti Indonesia yaitu politik bebas aktif, yang tidak selalu diartikan bersikap netral.
"Tetapi untuk kasus perang Rusia Ukraina (Nato) ini, Indonesia harus memposisikan diri netral dan mengajak sebanyak mungkin negara lain untuk anti perang karena perang adalah kebodohan dan jalan setan menuju kehancuran bumi dan umat manusianya," ungkap Didik.
"Indonesia layak tampil sebagai negara yang berpengaruh di dunia untuk menjalankan misi perdamaian ini. Sejarah peranan Indonesia di dalam diplomasi dan perdamaian sudah dikenal dunia dimana Bung Karno adalah tokoh dunia yang sangat dikenal karena berdiri di tengah konflik ideologi dunia Barat dan Timur yang mengerikan. Jaman Soeharto juga banyak tampil diplomat-diplomat hebat yang mampu berperan mendamaikan."
Sebelumnya, Persiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) telah sampaikan sedang memulai misi perdamaian ke Ukraina. Ia pun mengunjungi Kyiv, Ukraina, menaiki kereta luar biasa dari Peron 4 Stasiun Przemysl Glowny, Przemysl, Polandia, bersama rombongan terbatas menuju.
"Kami memulai misi perdamaian ini dengan niat baik. Semoga dimudahkan," tulis Jokowi unggahan di akun resmi Instagram @jokowi dikutip di Jakarta, Rabu 29 Juni 2022.
Presiden Jokowi telah bertemu Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Dikatakan bahwa Jokowi menjadi pemimpin Asia pertama yang mengunjungi Ukraina.
Setelahnya ia melanjutkan perjalanan ke Rusia untuk bertemu Presiden Vladimir Putin.
Sumber: genpi.co
Artikel Terkait
Ini Sosok Tahanan Wanita yang Diduga Dirudapaksa Oknum Polisi Polres Pacitan, Masih 21 Tahun
Pria Asal Bekasi Beberkan Pengalaman Jadi Admin Judol di Kamboja, Ada Teman yang Disetrum
[INFO] Wapres Gibran Ajak Generasi Muda Berani Buat Terobosan: Harus Bisa Beradaptasi & Manfaatkan Peluang!
Menag Geram, Jan Hwa Diana Tega Potong Gaji Karyawan Jika Pergi Salat Jumat