POLHUKAM.ID - Amerika Serikat (AS) dan Iran akan memulai perundingan penting pada hari Sabtu (12/4/2025) untuk mencapai kesepakatan nuklir baru Teheran. Perundingan ini akan menjadi titik kritis karena Washington sudah mengancam perang jika gagal mencapai kesepakatan dengan Teheran.
Pertemuan ini, yang akan diadakan di Oman, dapat menjadi pembicaraan langsung pertama antara pejabat Iran dan Amerika dalam satu dekade, meskipun Iran bersikeras bahwa pembicaraan tersebut akan dilakukan secara tidak langsung—dengan mediator bertindak sebagai perantara bagi kedua negara.
Presiden AS Donald Trump telah memberi Iran tenggat waktu dua bulan untuk menerima kesepakatan yang akan menyebabkan Iran mengurangi jejak nuklirnya atau menghapus program nuklirnya sama sekali.
"Ini akan menjadi pembicaraan langsung dengan Iran, dan saya ingin memperjelasnya," kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt dalam jumpa pers hari Jumat, seperti dikutip CNN.
Dia menambahkan bahwa tujuan akhir Trump adalah untuk "memastikan bahwa Iran tidak akan pernah bisa memperoleh senjata nuklir."
Kedatangan utusan Timur Tengah pemerintahan Trump Steve Witkoff di Oman akhir pekan ini untuk melakukan pembicaraan dengan pejabat Iran akan menambah berkas lain ke dalam serangkaian masalah yang rumit dan sulit dipecahkan dalam portofolionya yang terus bertambah dan menyusul pertemuan tatap muka dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai Ukraina di St Petersburg pada hari Jumat.
Taruhannya tinggi pada hari Sabtu: Trump mengatakan serangan militer mungkin dilakukan terhadap Iran jika kesepakatan nuklir baru tidak tercapai, meskipun dia mengatakan Israel—yang telah menganjurkan serangan terhadap Iran—akan memimpin serangan.
"Jika itu memerlukan militer, kami akan menggunakan militer," kata Trump pada Rabu lalu.
"Israel jelas akan sangat terlibat dalam hal itu. Mereka akan menjadi pemimpinnya," imbuh Trump.
Namun Iran telah berulang kali menolak untuk bernegosiasi di bawah tekanan.
Iran telah menetapkan "garis merah" untuk perundingan, termasuk bahasa yang "mengancam", "tuntutan berlebihan" mengenai program nuklir Iran, dan industri pertahanan Iran, menurut kantor berita Tasnim, yang kemungkinan merujuk pada program rudal balistik Teheran, yang oleh sekutu Amerika Serikat di Timur Tengah dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan mereka.
Meskipun agenda pasti untuk perundingan tersebut masih belum jelas, Trump telah berjanji untuk mengamankan perjanjian yang "lebih kuat" daripada kesepakatan nuklir 2015 yang ditengahi oleh pemerintahan Barack Obama, yang dimaksudkan untuk mengekang program nuklir Iran.
Trump menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran pada tahun 2018, menyebutnya sebagai perjanjian "bencana" yang memberikan uang kepada rezim yang mensponsori terorisme.
Trump ingin membuat kesepakatan yang akan mencegah Iran membangun senjata nuklir tetapi belum menentukan bagaimana kesepakatan itu akan berbeda dari perjanjian sebelumnya, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama atau JCPOA. Kesepakatan itu dibuat selama pemerintahan Obama dan dimaksudkan untuk membatasi program nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi Barat.
Pejabat AS telah mengisyaratkan bahwa mereka mungkin mendorong Iran untuk sepenuhnya membongkar program nuklirnya, termasuk komponen energi sipilnya, yang menjadi hak Teheran berdasarkan perjanjian nuklir PBB.
Namun, pejabat Iran telah menolak usulan itu sebagai hal yang tidak mungkin, menuduh AS menggunakannya sebagai dalih untuk melemahkan dan akhirnya menggulingkan Republik Islam tersebut.
Para pakar mengatakan Teheran melihat program nuklirnya sebagai sumber pengaruh terbesarnya dan meninggalkannya akan membuat negara itu dalam posisi yang berbahaya.
Namun, pemerintah Trump juga mengatakan tidak hanya mempertimbangkan kemungkinan kesepakatan nuklir, tapi juga ingin melibatkan Iran dalam berbagai isu, kata seorang pejabat senior pemerintah Trump.
Pertemuan pada hari Sabtu akan menguji apakah Iran bersedia melakukan diskusi tingkat tinggi, yang dapat mengarah pada negosiasi mengenai program nuklir Iran, program rudal balistik, dan dukungan untuk proksi di kawasan tersebut, kata pejabat tersebut.
“Iran akan bersemangat untuk kembali ke sesuatu seperti JCPOA, jadi pertanyaannya adalah: apakah mereka bersedia untuk meletakkan hal lain di atas meja?” kata pejabat tersebut.
Sementara Trump mengancam prospek perang sebagai konsekuensi dari pembicaraan yang gagal, pejabat AS lainnya telah memberikan nada yang jauh lebih tidak agresif.
Witkoff menekankan akhir bulan lalu bahwa solusi diplomatik dapat dicapai. Dalam sebuah wawancara dengan Tucker Carlson, dia memuji kekuatan militer AS dan memaparkan kerentanan Iran tetapi dengan cepat mengklarifikasi: “Ini bukan ancaman.”
“Jika orang Iran mendengar siaran ini, bukan saya yang mengeluarkan ancaman. Presidenlah yang memiliki kewenangan itu,” katanya.
Seorang pejabat AS mengatakan pembicaraan itu bisa menjadi titik awal bagi kedua belah pihak untuk menilai apakah negosiasi lebih lanjut mungkin dilakukan.
"Hari Sabtu paling banter adalah latihan penyusunan meja perundingan, untuk menentukan apakah kesepakatan itu mungkin dilakukan," kata seorang mantan pejabat AS yang telah bernegosiasi dengan Iran mengenai isu nuklir.
"Saya menduga Iran akan berpura-pura menunjukkan fleksibilitas karena inti pembicaraan nuklir terletak pada detailnya, dan detailnya tidak mungkin dibahas dalam episode pembukaan ini," kata mantan pejabat itu.
Untuk saat ini, ini bukan negosiasi, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Tammy Bruce memperingatkan, tetapi pertemuan dengan tujuan tertentu.
"Hal yang sangat spesifik yang perlu dicapai, yang akan membuat dunia menjadi tempat yang jauh lebih aman, adalah memastikan bahwa Iran tidak pernah mendapatkan senjata nuklir," kata Bruce kepada wartawan.
Trump sebelumnya menyurati Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei yang memaksa Teheran setuju melakukan perundingan—yang dapat menyebabkan Iran menyetujui tindakan untuk mencegahnya membangun senjata nuklir.
Tetapi proses perencanaan untuk pembicaraan berisiko tinggi hari Sabtu itu tidak mulus.
Beberapa kali minggu ini muncul pertanyaan di antara mereka yang terlibat mengenai apakah hal itu akan terjadi, mengingat Iran mengatakan mereka hanya akan terlibat secara tidak langsung sementara Trump bersikeras akan ada pertemuan langsung.
Namun, hingga Jumat, tampaknya pembicaraan tersebut berjalan sesuai rencana, kata sumber yang mengetahui perencanaan tersebut.
Dalam sebuah artikel di Washington Post minggu ini, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi memperingatkan bahwa perang terhadap Iran akan menyeret AS—dan kawasan tersebutake dalam konflik yang mahal yang ingin dihindari oleh seorang presiden yang terpilih dengan platform antiperang.
“Kita tidak dapat membayangkan Presiden Trump ingin menjadi presiden AS lainnya yang terperosok dalam perang dahsyat di Timur Tengah—konflik yang akan dengan cepat meluas ke seluruh kawasan dan menghabiskan biaya secara eksponensial lebih banyak daripada triliunan dolar pajak yang dihabiskan para pendahulunya di Afghanistan dan Irak,” tulisnya.
Namun, Republik Islam tersebut—proyeksi kekuatan regionalnya melemah secara signifikan selama 18 bulan terakhir oleh serangan Israel terhadap proksinya dan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di dalam perbatasannya sendiri— telah memilih untuk datang ke meja perundingan.
Pejabat pemerintahan Trump memuji tindakan Israel atas posisi Iran, dengan Witkoff mengatakan serangan Israel membuat pertahanan Iran "hancur lebur."
Namun, terlepas dari front persatuan dengan Israel yang telah ditunjukkan secara terbuka oleh pejabat pemerintahan AS, pengumuman Trump minggu ini tentang pembicaraan hari Sabtu tampaknya mengejutkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang duduk di sebelahnya.
Dua sumber Israel mengatakan kepada CNN bahwa pengumuman itu "tentu saja tidak" sesuai dengan keinginan Israel.
Sekembalinya, Netanyahu mengatakan bahwa jika pembicaraan nuklir berlarut-larut, dia mungkin akan menyerang Iran.
CNN sebelumnya melaporkan bahwa badan intelijen AS memperingatkan pemerintahan Biden dan Trump bahwa Israel tampaknya akan menyerang target yang terkait dengan program nuklir Iran sebagai bagian dari misi negara itu untuk memberlakukan perubahan rezim di Republik Islam.
Sumber: sindonews
Artikel Terkait
Negara-Negara Eropa Minta Warganya Siaga Perang, Mana Saja?
Duar...Senjata Rusia Ledakkan Pesawat Tempur Canggih Amerika F-16 Viper
Pengamat: Seperti Uni Soviet Dulu, Israel Sedang Menuju Kehancuran
Terungkap Isi Proposal AS Soal Negosiasi Nuklir Iran yang Dibahas di Oman