polhukam.id - Turki masih menemui jalan buntu untuk memperoleh dua jet tempur canggih dari negara-negara Barat seperti F-35 dan Eurofighter Typhoon.
Kekecewaan untuk memperoleh kedua jet tempur tersebut membuat Turki mencoba untuk mendekati China dalam rencana pembelian alutsista udara mereka.
Akan tetapi, Rafale yang diproduksi Dassault Aviation (Prancis) masih bisa menjadi alternatif bagi Turki jika gagal mendapatkan F-35 maupun Eurofighter Typhoon dengan segala kerumitannya sebelum permohonan akuisisi disetujui.
Dilansir polhukam.id dari laman Defence Security Asia pada Rabu, 24 Januari 2024, Turki tidak mengalami nasib sendirian terkait kegagalannya memperoleh F-35.
Arab Saudi juga sempat mengajukan permohonan untuk membeli jet tempur buatan Lockheed Martin tersebut, namun Amerika Serikat tidak menyetujuinya.
Pembelian S-400 dari Rusia oleh Negeri Petrodolar itu diduga kuat menjadi penyebab utamanya, dan alasan ini pula yang menghambat Turki memperoleh jet tempur tersebut.
Hal serupa juga terjadi pada Uni Emirat Arab yang hampir saja mencapai finalisasi kontrak F-35, namun buyar seketika setelah Negeri Paman Sam mengetahui negara calon pembelinya terlibat dalam proyek jaringan 5G dari Huawei.
Sementara untuk Eurofighter Typhoon, Jerman menolak permohonan akuisisi dari Turki karena keberpihakan negara yang kuat terhadap Palestina sekaligus menentang keras agresi militer Israel.
Namun lain halnya dengan Arab Saudi, di mana Inggris kemudian mendesak Jerman untuk mencabut penolakan penjualan jet tempur yang mereka produksi bersama dengan alasan "jaminan keamanan" bagi pasukan Israel.
Berkaca dari hal tersebut, pembelian jet tempur F-35 maupun Eurofighter Typhoon mengharuskan peminatnya untuk memenuhi persyaratan yang sangat ketat.
Artikel dari laman Eurasian Times yang dimuat pada Selasa, 23 Januari 2024, faktor kepentingan geopolitik menjadi pertimbangan bagi negara produsen untuk menetapkan apakah negara calon pembeli layak disetujui atau tidak.
Termasuk dalam hal ini adalah transaksi jual beli alutsista maupun produk telekomunikasi dari lawan politik NATO, yang dicurigai dapat digunakan sebagai alat "mata-mata" bagi alutsista NATO.
Yang menjadi isu krusial, keberpihakan terhadap Israel juga turut menjadi salah satu kriteria sebelum negara produsen menyetujui transaksi jual beli alutsista produksi mereka.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: zonajakarta.com
Artikel Terkait
Rumah Mewah Bekas Adele Tak Laku Gara-gara Rumor Angker
Selena Gomez Menangis Ditengah Isu Deportasi Massal Warga Meksiko
Miris! Kerumunan Festifal Religi di India, Desak-desakan Berujung 15 Orang Kehilangan Nyawa
Pelapor PBB: Amerika Danai Genosida yang Dilakukan Israel di Jalur Gaza!