Langkah Beijing dan Moskow itu sekaligus menjadi perpecahan pertama antara 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, sejak badan paling kuat di PBB itu mulai memberikan sanksi kepada Pyongyang pada 2006.
Tiga belas anggota dewan yang tersisa semuanya memberikan suara mendukung atas resolusi yang dirancang oleh Amerika Serikat (AS), dan mengusulkan pelarangan ekspor tembakau dan minyak ke Korut. Rencananya, resolusi juga akan memasukkan kelompok peretasan Lazarus ke daftar hitam, yang menurut AS terkait dengan Pyongyang.
Dewan Keamanan sebelumnya bersatu untuk memberlakukan sanksi setelah ledakan uji coba nuklir pertama Korut pada tahun 2006.
Selama bertahun-tahun berikutnya, sanksi atas negara itu berusaha makin diperketat, dengan total 10 resolusi dihasilkan. Resolusi-resolusi itu tidak lain ditujukan demi mengendalikan program nuklir dan balistik Korut beserta pemotongan pendanaannya.
Namun, sejauh ini, resolusi tersebut tidak membuahkan hasil.
Tahun ini saja, Korut melakukan total 23 peluncuran rudal, tiga di antaranya bahkan dilakukan hanya dalam waktu kurang dari satu jam pada Rabu (26/5) pagi.
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield menggambarkan pemungutan suara atas resolusi terbaru sebagai 'hari yang mengecewakan' bagi dewan.
"Dunia tengah menghadapi bahaya yang nyata dan sekarang dari DPRK (Korea Utara). Pengekangan dan keheningan dewan ini telah menghilangkan atau bahkan mengurangi ancaman itu. DPRK (malah) dibuat berani," ucap Thomas-Greenfield.
Washington telah menilai bahwa Korut melakukan enam peluncuran ICBM tahun ini dan, 'secara aktif negara itu bersiap untuk melakukan uji coba nuklir'.
China-Rusia, sementara itu, telah mendorong agar sanksi dilonggarkan dengan alasan kemanusiaan.
"Pengenalan sanksi baru terhadap DPRK (Korut) adalah langkah menuju jalan buntu. Kita telah menekankan ketidakefektifan dan ketidakmanusiawian untuk lebih memperkuat tekanan sanksi terhadap Pyongyang," kata Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia saat berbicara kepada dewan.
Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun mengatakan sanksi tambahan terhadap Korut hanya akan menyebabkan lebih banyak 'efek negatif dan eskalasi konfrontasi'.
"Situasi di Semenanjung telah berkembang menjadi seperti sekarang ini terutama berkat kebijakan AS yang gagal dan kegagalan untuk menegakkan hasil dialog sebelumnya," kata Zhang kepada dewan.
Pembicaraan denuklirisasi telah terhenti sejak 2019 ketika pertemuan puncak di Vietnam antara pemimpin Korut Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump runtuh tanpa kesepakatan.
Pemerintahan Presiden Joe Biden telah berulang kali mengatakan pihaknya bersedia untuk berbicara dengan Pyongyang tanpa prasyarat, tetapi tidak akan membuat 'tawar-menawar besar'. Pyongyang, sementara itu, telah menunjukkan sedikit minat dalam menanggapi tawaran Washington.
Menurut Al Jazeera, Majelis Umum PBB dijadwalkan masih akan membahas Korut dalam dua minggu ke depan. Ini terutama karena aturan baru mewajibkan badan yang beranggotakan 193 orang itu untuk bertemu setiap kali veto diberikan di DK PBB, yang anggota tetapnya adalah Rusia, China, AS, Prancis, dan Inggris.
Sumber: akurat.co
Artikel Terkait
5 Alasan Wapres Filipina Dimakzulkan, Ancam Bunuh Presiden hingga Skandal Korupsi
Israel Bersiap Hadapi Kemungkinan Tsunami di Tengah Gempa Bumi yang Terjadi di Yunani
Pernyataan Baru Donald Trump: Gaza Akan Diserahkan ke AS oleh Israel!
Arab Saudi Gelar Nikah Massal, 300 Pengantin Dapat Hadiah Mobil dan Rumah