POLHUKAM.ID - Mabes Polri menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) tak konsisten dalam penuntasan proses hukum atas kasus pemagaran laut. Bareskrim menilai Korps Adhyaksa mengambil langkah inkonsistensi penegakan hukum dengan memaksakan delik korupsi terkait pemagaran laut di kawasan utara Tangerang, Banten, tapi menghentikan proses penyelidikan korupsi dalam kasus pemagaran laut di Bekasi, Jawa Barat (Jabar).
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, tim penyidikannya sebetulnya menerapkan standar penjeratan hukum yang sama atas dua kasus pemagaran laut di Tangerang, maupun di Bekasi itu. Konstruksi hukum atas dua kasus sama namun berbeda lokasi itu. Sama-sama berbasis pada penjeratan Pasal 263 KUH Pidana, terkait pemalsuan dokumen.
Akan tetapi kata Djuhandani kejaksaan melalui Kejaksaan Negeri Cikarang, malah menghentikan penyelidikan korupsi terkait pagar laut di Bekasi. Sementara dalam kasus pagar laut di Tangerang, kejaksaan ngotot untuk penjeratan pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Pihak Kejaksaan Negeri Cikarang telah menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam jual beli wilayah laut di Desa Babelan Kecamatan Tarumajaya," ujar Djuhandani dalam keterangan yang diterima wartawan di Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Sementara hasil penyidikan Dittipidum Bareskrim Polri terkait jual beli wilayah laut di Desa Babelan, Kecamatan Tarumajaya dan proses pensertifikatan telah terjadi dugaan tindak pidana pemalsuan surat dengan modus operandi yang sama dengan perkara di Desa Kohod Kecamatan Pakuhaji, Tangerang, Banten.
"Sehingga hal ini kontradiktif dengan petunjuk JPU (Jaksa Penuntut Umum) yang menyatakan bahwa perkara tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,” katanya menambahkan.
Inkonsistensi kejaksaan tersebut, menurut Djuhandani yang membuat tim penyidikannya tetap mengacu pada Pasal 263 KUH Pidana sebagai dasar penjeratan para tersangka kasus pagar laut di Tangerang, Banten.
Djuhandani memilih mengabaikan petunjuk-petunjuk JPU dalam dua kali pemulangan berkas perkara yang meminta penyidik kepolisian menjadikan pasal-pasal korupsi dalam UU Tipikor sebagai basis konstruksi perkara empat tersangka tersangka dalam kasus pemagaran laut di Tangerang, Banten.
Djuhandani mengatakan, sedikitnya lima alasan mengapa tim penyidiknya mengambil jalan pengabaian atas petunjuk JPU tersebut.
Dia menerangkan, penyidiknya mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 256/PUU-XIV/2026 yang pada intinya menyatakan tindak pidana korupsi harus memiliki kerugian negara yang nyata.
Kerugian negara yang nyata tersebut harus berdasarkan dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Dan berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU 31/1999 dan UU 20/2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara eksplisit menyatakan bahwa yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi adalah yang melanggar UU Tindak Pidana Korupsi atau yang melanggar UU lain yang secara tegas dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi,” ujar Djuhandani.
Dia mengatakan, adanya indikasi pemberian suap dan atau gratifikasi terhadap penyelenggara negara yang menjadi salah-satu petunjuk JPU dalam kasus pagar laut di Tangerang, Banten, pun saat ini sudah dalam proses penyelidikan di Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Mabes Polri.
“Dan terhadap kejahatan atas kekayaan negara berupa pemagaran wilayah laut di Desa Kohod tanpa izin dari pihak berwenang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan atau kerugian masyarakat yang JPU nyatakan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, saat ini juga sedang dilakukan penyelidikan oleh Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri,” ujar Djuhandani.
Djuhandani menilai, semestinya Kejagung mengacu pada penerapan asas Lex consumen derograt legi konsumte. “Yang berarti aturan yang digunakan adalah berdasarkan fakta-fakta dominan dalam suatu perkara. Sehingga melihat dari posisi kasusnya, fakta yang dominan dalam kasus pemagaran laut tersebut adalah terkait dengan pemalsuan dokumen dimana tidak menyebabkan kerugian nyata terhadap keuangan negara, atau perekonomian negara. Sehingga penyidik tetap berkeyakinan bahwa perkara tersebut bukan merupakan perbuatan tindak pidana korupsi. Karena yang mengalami kerugian adalah masyarakat nelayan,” ujar Djuhandani.
Pekan lalu Kejagung mengingatkan Polri untuk memenuhi semua petunjuk JPU agar berkas perkara kasus pemagaran laut di Tangerang, Banten dapat diajukan ke pengadilan. Tim JPU Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) menilai kasus tersebut, bukan cuma menyangkut soal pemalsuan dokumen dan surat-surat dalam Pasal 263.
Direktur A Jampidum, Nanang Ibrahim Soleh menegaskan, kasus pemagaran laut sepanjang 30-an Kilometer (Km) di Desa Kohod tersebut, masuk dalam kualifikasi tipikor. “Bahwa petunjuk dari kita (jaksa), bahwa perkara tersebut (pagar laut) adalah perkara tindak pidana korupsi. Karena di situ ada suapnya, ada pemalsuannya, juga ada penyalahgunaan kewenangan, dan juga terindikasi merugikan negara,” kata dia di Kejagung, Jakarta, Rabu (16/4/2025).
Petunjuk dari JPU tersebut seperti diabaikan oleh penyidik pada pengembalian berkas pertama atas tersangka Kades Kohod Arsin, Maret 2025 lalu. Sebab itu pada pelimpahan berkas kedua oleh tim peyidik Dittipidum baru-baru ini, JPU pun memulangkan berkas perkara tersebut.
“Mengingat petunjuk-petunjuk dari kita tidak dipenuhi, akhirnya kemarin tetap kita kembalikan. Mengapa kita kembalikan? Karena memang berkas perkara tersebut, tidak sesuai dengan petunjuk yang sudah kita sampaikan pada saat pengembalian berkas pertama,” ujar dia. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum)
Kejagung Harli Siregar menjelaskan, ada tiga alasan mengapa berkas kasus perkara pagar laut tersebut kembali dipulangkan ke penyidik. Menurutnya, pada saat pengembalian berkas perkara pertama pada 24 Maret 2025 lalu, JPU sudah menebalkan beberapa catatan kepada penyidik di kepolisian agar kasus pagar laut tersebut turut menyertakan pasal-pasal yang mengacu pada UU Tipikor.
“Bahwa jaksa penuntut umum setelah membaca, mempelajari, meneliti berkas perkara yang telah diserahkan, setidaknya satu berkas yang sudah diserahkan atas nama tersangka Arsin bin Arsip, ada indikasi suap, atau gratifikasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 atau Pasal 12 Undang-undang Tipikor,” kata Harli, Rabu (16/4/2025).
Harli mengatakan, berdasarkan penelitian berkas perkara oleh tim JPU di Jampidum ada juga indikasi pemalsuan-pemalsuan dokumen dan surat-surat. Tapi menurut JPU, ragam delik imitasi tersebut tak cukup hanya dengan penyangkaan dengan KUH Pidana.
“Karena hal tersebut juga diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Tipikor. Dan ketiga ada indikasi perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor,” kata Harli.
Dalam asas-asas pidana, suatu perbuatan melawan hukum yang diatur dalam perundangan khusus, harus lebih diutamakan ketimbang yang umum untuk penjeratan terhadap pelaku. Dalam kasus pemagaran laut tersebut, kata Harli ada perbuatan yang sesuai dengan klasifikasi UU Tipikor sebagai aturan yang khusus, ketimbang KUH Pidana yang umum.
Sumber: republika
Artikel Terkait
KAGAMA Hadirkan Ahli Digital Forensik Dalami Ijazah Jokowi: Murni Sains, Bukan Karena Benci
Wahyu Setiawan Minta Uang Rp40 Juta ke Eks Bawaslu Agustiani Tio: Ganti Bayar Karaoke
Bareskrim Lepas Tersangka Pemalsuan Dokumen Pagar Laut Tangerang Kades Kohod Dkk
Wahyu Setiawan dan Sopir Pribadi Saeful Bahri Bakal Dihadirkan di Sidang Hasto Hari Ini