Kasus Sogok Trio Hakim PN Jakpus Rp 60 M: Pengacara Berinisial J masih Misteri

- Kamis, 17 April 2025 | 10:15 WIB
Kasus Sogok Trio Hakim PN Jakpus Rp 60 M: Pengacara Berinisial J masih Misteri


POLHUKAM.ID
- Kasus suap atau sogok terhadap trio hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Jakpus) makin terkuak dengan ditetapkan tersangka baru.

Pun, Kejaksaan Agung (Kejagung) diharapkan menyeret pelaku utama dalam penyogokan terhadap trio hakim yang menyidangkan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO atau minyak kelapa sawit mentah itu.
Baru 8 tersangka yang dijerat penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung yakni Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta; Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG); serta kuasa hukum korporasi, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri sebagai tersangka.

Lalu menetapkan tersangka kepada tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ekspor CPO yakni Djuyamto (DJU) selaku ketua majelis serta Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) selaku anggota. Terbaru Kejagung menetapkan Muhammad Syafei (MS) yang merupakan Social Security Legal Wilmar Group sebagai tersangka.

Nah, dengan penetapan tersangka terhadap Syafei itu, disebut-sebut harus menjadi kotak pandora untuk mengusut keterlibatan pihak korporasi lainnya selaku pemberi suap.

Pasalnya, Wilmar Group hanya satu dari tiga grup perusahaan yang diseret ke meja hijau, di samping Permata Hijau Group dan Musim Mas Group. Bahkan, di kalangan praktisi hukum, beredar satu nama lain yang diyakini memiliki kedekatan khusus dengan Wilmar Group. 

Sosok tersebut diduga berinisial J, seorang pengacara senior yang disebut-sebut sering menangani perkara-perkara besar. Penelusuran Monitorindonesia.com, Kamis (17/4/2025) memang namanya kerap muncul dalam jaringan kuasa hukum perusahaan sawit raksasa. Kini sosok pengacara 'J' masih misteri. Catatan, redaksi Monitorindonesia.com mengedepankan asa praduga tak bersalah.

Sementara Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, Rabu (16/4/2025) kemarin sempat menduga bahwa masih ada pihak lain di atas Syafei yang dudga terlibat dalam memuluskan jalannya persidangan sehingga majelis hakim menjatuhkan putusan onstlag van alle recht vervolging atau vonis lepas dari dakwaan tipikor yang sebelumnya sudah disusun jaksa penuntut umum.

"Mustahil hanya melibatkan pihak legal Wilmar Group, tidak mungkin tidak berdasarkan perintah. Jadi pasti ada directing midn-nya yang memerintahkan untuk melakukan proses penyuapan kepada para hakim," katanya.

Penetapan tersangka ini harus menjadi momentum bagi penyidik Jampidsus untuk membongkar keterlibatan unsur dari internal Wilmar Group sendiri maupun dua korporasi lainnya. "Ini adalah semacam bentuk mafia dalam sistem perdailan kita yang tidak mungkin hanya terjadi satu dua kali. Itu pasti sudah sering terjadi. Dan itu yang mesti disasar penyidik untuk memastikan bahwa semua yang terlibat dengan perannya masing-masing betul-betul disasar," tandasnya.

Jangan-jangan kasus lain pakai modus seperti ini!


Penetapan para hakim sebagai tersangka dugaan suap itu seharusnya menjadi momentum untuk menyoroti kasus-kasus serupa yang melibatkan korporasi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Muhammad Yassar, menyebut kasus suap hakim dengan modus seperti ini sebagai unprecedented atau belum pernah terjadi sebelumnya.

Olehnya itu, Yassar menekankan perlunya kecermatan dalam mengawasi kasus korupsi yang melibatkan korporasi besar, terutama di sektor ekstraktif. 

"Jangan-jangan selama ini ada kasus-kasus lain di mana korporasi sebetulnya melakukan tindak pidana korupsi, tetapi kasusnya kemudian 'dipesan' menggunakan modus suap-menyuap," kata Yassar, Rabu (16/4/2025).

Sementara pakar hukum dan tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mengatakan kasus ini mestinya menjadi pintu masuk untuk menyelisik kembali kasus-kasus serupa.

"Ternyata putusan lepas itu muncul karena adanya penyuapan Rp60 miliar. Ini memang dibelokkan [putusannya]. Itu modus mafia-mafia yang melibatkan hakim," kata Yenti kepada Monitorindonesia.com, Rabu (16/4/2025).

Namun di balik itu, bisakah penegak hukum menjerat perusahaan dalam kasus korupsi? Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) telah mengatur korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijerat dalam kasus korupsi.

Hukum acara pidananya diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016. Secara spesifik, Perma No 13/2016 menyebut korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana termasuk korupsi apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria berikut:

Korporasi mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut; Tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi; Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; dan Korporasi tidak melakukan langkah-langkah pencegahan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

Muhammad Yassar, mengatakan penjeratan korporasi selaku subjek hukum masih menjadi permasalahan mendasar dalam pemberantasan korupsi. Sebab, katanya, pada KUHAP, belum tercantum ketentuan yang cukup progresif dan komprehensif dalam hal pemidanaan korporasi.

Yassar menyebut Perma No 13/2016 masih berupa "ketentuan parsial" terkait pemidanaan korporasi.

"Pada kasus-kasus korupsi, sayangnya peraturan ini masih sangat jarang dioperasionalkan oleh penegak hukum. Salah satu sebabnya karena substansi peraturannya tidak berada di level undang-undang. Ini menyebabkan kebingungan bagi penegak hukum karena banyak interpretasi terkait regulasi yang seharusnya dijadikan acuan dalam memidanakan korporasi," bebernya.

Yassar mengatakan secara kapasitas, penegak hukum di Indonesia sering kali kesulitan untuk membedakan kapan suatu tindak pidana merupakan tanggung jawab dari korporasi dan kapan itu menjadi tanggung jawab dari individu.

Sementara ICW mencatat ada setidaknya 252 pengusaha atau swasta yang menjalani persidangan kasus korupsi di tahun 2023. "Namun ini merujuk pada individu, bukan korporasi sebagai badan hukum," kata Yassar.

Dari data yang sama, setidaknya hanya ada tiga korporasi yang didakwa dalam kasus korupsi dari total 898 terdakwa di tingkat pengadilan negeri. Sedangkan di tingkat pengadilan tinggi, hanya ada 6 korporasi dari 582 total terdakwa yang berhasil disidangkan.

"Keseluruhan kasus yang melibatkan korporasi sebagai badan hukum menggunakan delik kerugian negara pada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan delik suap," jelas Yassar.

Terpisah, Guru Besar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, mengamati banyak penegak hukum yang menerapkan ultimum remedium atau "pidana sebagai obat terakhir".

"Di Indonesia sering kali pidananya dikesampingkan, lalu yang dikasih adalah sanksi administratif dengan alasan ultimum remedium," ujarnya.

Dugaan suap hakim agung: Persidangan MA yang tertutup 'jadi celah permainan perkara', KPK diminta usut potensi keterlibatan hakim lain. Andri menekankan pentingnya penegakan hukum pidana dalam kasus korupsi atau suap sebagai bentuk penegasan negara yang mengutuk tindakan tersebut.

"Bisa jadi jumlah dendanya tidak jauh berbeda. Tapi pidana itu adalah ekspresi negara mencela sebuah perbuatan. Ekspresi pencelaan ini tidak ada dalam sanksi administratif," tegasnya.

Sementara pakar hukum dan tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mengatakan penegak hukum harus benar-benar memahami konsep "kejahatan perusahaan" yang sudah diatur dalam UU Tipikor. 

"Aparat hukum hukum harus bisa mencermati dan mendalami kejahatan yang terjadi terkait suatu perusahaan. Kalau sudah terbukti, maka bisa dilakukan pemidanaan sampai yang terberat pencabutan izin dan disertai dengan denda. Dan yang lebih penting lagi: pengembalian semua keuntungan perusahaan yang dihitung sejak terbukti terlibat kejahatan," beber Yenti melanjutkan.

Berkaca dari penanganan kasus suap perkara ekspor CPO dimana Kejaksaan Agung memamerkan barang sitaan berupa mobil mewah, Yenti menilai adanya peluang penggunaan pasal TPPU.

"Ketika barang bukti yang disita adalah mobil mewah, urusannya bukan semata korupsi, melainkan sudah nyata, ada indikasi tindak pidana pencucian uang untuk mempercepat penyitaan dan perampasan [aset]. Di Indonesia, pidana berat untuk korupsi diperlukan. Enggak jera-jera soalnya. Memang akan lebih jera kalau disita dan dimiskinkan," katanya.

Mahkamah Agung bisa apa?


Berdasarkan catatan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, setidaknya terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka akibat menerima suap untuk mempengaruhi hasil putusan.

"Jika ditotal, jumlah suapnya menyentuh angka sekitar Rp 108 miliar," ujar Yassar.

Sementara mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) La Ode Syarif mengatakan Ketua MA Sunarto sebagai seseorang dengan rekam jejak cukup baik "harus bertangan besi" dalam menangani hakim-hakim yang melakukan pelanggaran.

"Kalau tidak, hal seperti ini akan terus terjadi. Saya sangat berharap kepada pimpinan MA supaya betul-betul zero tolerance terhadap hakim-hakim yang melanggar hukum. Seharusnya dibebastugaskan saja semuanya," kata La Ode kepada Monitorindonesia.com.

Menyoal  itu, Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto, mengatakan pihaknya telah mengambil tindakan tegas dengan memberhentikan sementara empat hakim yang

Lebih lanjut, Yanto menjelaskan bahwa pemberhentian secara permanen akan diberlakukan jika nantinya pengadilan mengeluarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Terpisah, Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) dalam pernyataan tertulisnya mengatakan akar masalah kasus suap hakim tidak tunggal.

"Ada kombinasi antara: kesejahteraan yang belum ideal, sistem promosi dan rotasi, serta masih lemahnya budaya pengawasan [internal dan eksternal]. Pemberantasan suap tidak bisa berhenti di penindakan semata. Harus ada perbaikan sistemik dari hulu," tulis lembaga itu.

Sementara pegiat antikorupsi Tibiko Zabar menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan yang seharusnya diemban oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial. "Kasus ini juga menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Berdasarkan data KPK, sejak berdiri hingga 2022 setidaknya, tak kurang 21 hakim terbukti korupsi," katanya.

Lantas Kepala Biro Humas MA, Sobandi, kemarin menyebut persoalan utama terletak pada integritas oknum hakim, bukan pada kelemahan lembaga. "Persoalannya di persoalan integritas oknum," kata Sobandi, Rabu (15/4/2025).

Sobandi menekankan bahwa MA secara rutin melakukan pembinaan dan pengawasan untuk meningkatkan integritas para hakim. Namun, Sobandi mengakui adanya keterbatasan dalam pengawasan. "Pengawasan kami hanya pada saat jam kerja. Kami tidak mengawasi seorang hakim dan aparatur pengadilan 24 jam," jelasnya.

Sobandi juga menyinggung soal kesejahteraan hakim, khususnya mereka yang menangani tindak pidana korupsi dengan beban kerja berat tetapi tunjangan yang setara dengan hakim bidang lain.

Dia mendorong pemerintah memberikan perhatian lebih terkait hal ini. Di sisi lain, Sobandi juga mengatakan bahwa "hakim juga manusia".

"Setangguh apa pun hakim, ya, namanya hakim juga manusia. Ketika digoda-goda seperti halnya Rp 60 miliar itu, kan, ya, kadang goyah juga, kan?" katanya.

Sebagai langkah antisipasi, MA berencana melakukan evaluasi menyeluruh terhadap hakim-hakim di wilayah Jakarta dan mengusulkan mutasi setiap dua tahun. "Karena godaan di Jakarta, tahu sendiri bagaimana terhadap materi," tuturnya.

Peran tersangka suap vonis lepas terdakwa korupsi CPO


Majelis hakim yang memutus lepas terdakwa kasus ini adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat dan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).

Tiga terdakwa korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng ini mulai dari Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. 

Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus ini lalu memberikan vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi itu pada 19 Maret 2025.

Tiga hakim yang urus perkara itu diduga bersekongkol dengan Muhammad Arif Nuryanta selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Marcella Santoso dan Ariyanto selaku pengacara tiga terdakwa korporasi, serta panitera muda pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.

Vonis lepas itu berbeda jauh dengan tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut uang pengganti sebesar Rp 937 miliar kepada Permata Hijau Group, uang pengganti kepada Wilmar Group sebesar Rp 11,8 triliun, dan uang pengganti sebesar Rp 4,8 triliun kepada Musim Mas Group.

Saat menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta menggunakan jabatannya untuk mengatur vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi kasus korupsi minyak goreng. Kasus kemudian terendus penyidik Kejagung.

Penyidik mendapati ada 2 amplop di tas milik Arif saat melakukan penggeledahan. Pertama, amplop coklat berisi 65 lembar uang pecahan SGD 1.000 dan amplop berwarna putih berisi 72 lembar uang pecahan USD 100. 

Kemudian, penyidik juga menyita dompet milik Arif yang di dalamnya terdapat ratusan uang pecahan dolar Amerika Serikat (USD), Dolar Singapura (SGD), Ringgit Malaysia (RM) hingga rupiah. Arif Nuryanta menerima suap sebanyak Rp 60 miliar.

Masing-masing hakim kecipratan duit suap. Mulanya, hakim Agam Syarif menerima uang senilai Rp 4,5 miliar dari Muhammad Arif Nuryanta.

"Setelah menerima uang Rp 4,5 miliar tadi, oleh ASB (Agam Syarif) dimasukan ke dalam goody bag, dan setelah keluar ruangan dibagi kepada 3 orang yaitu ASB sendiri, AL, dan DJU," kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di Gedung Kejagung, Senin (14/4/2025) dini hari

Arif lalu menyerahkan lagi sejumlah uang untuk ketiga hakim itu pada September 2024. Uang yang diberikan dalam bentuk dolar Amerika atau senilai Rp 18 miliar. Uang tersebut diserahkan kepada hakim Djuyamto.

"ASB menerima uang dolar bila dirupiahkan Rp 4,5 miliar, DJU (Djuyamto) menerima uang dolar jika dirupiahkan Rp 6 miliar, dan AL (Ali) menerima uang berupa dolar amerika bila disetarakan rupiah Rp 5 miliar," beber Abdul Qohar.

Ketiga hakim itu, jelas Qohar, mengetahui tujuan penerimaan uang tersebut agar perkara diputus ontslag alias divonis lepas.

Dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa Arif sangat berperan aktif agar majelis hakim memberikan vonis lepas terhadap para terdakwa. Dalam proses tersebut, Wahyu Gunawan yang saat itu menjadi panitera di PN Jakarta Pusat merupakan orang kepercayaan dari Arif Nuryanta. 

“WG sebagai panitera merupakan orang kepercayaan MN. Kemudian melalui dia (WG) lah terjadi kesepakatan,” kata Abdul Qohar.

Sementara Ariyanto dan Marcella Santoso yang merupakan pengacara terdakwa menjadi pihak yang diduga memberikan suap senilai Rp 60 miliar itu. Uang tersebut diberikan melalui Wahyu Gunawan

Setelah menetapkan 7 tersangka itu, Kejagung kembali menetapkan tersangka baru yakni Kepala Tim Hukum PT Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY) 

Syafei diduga terlibat penyuapan trio hakim yang menangani perkara korupsi itu. “Malam ini menetapkan satu orang tersangka, MSY. Yang bersangkutan sebagai Head of Social Security Legal Wilmar Group,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers, Selasa (15/4/2025) malam.

Uang Rp 60 miliar tersebut diduga diberikan agar trio hakim memberikan putusan lepas. Sebelumnya, ketiga perusahaan itu didakwa atas tindak pidana korupsi CPO. Wilmar lalu dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 11,88 triliun, Musim Mas Rp 4,89 triliun, dan Permata Hijau Rp 937,5 miliar. Selain itu, jaksa juga menuntut denda masing-masing Rp 1 miliar.

Namun, ketiga korporasi tersebut justru divonis ontslag van alle recht vervolging, atau terbukti melakukan perbuatan, tapi dinyatakan bukan tindak pidana oleh majelis hakim. Putusan itu, menurut Kejaksaan, merupakan hasil pesanan dari praktik suap yang sedang diselidiki.

Abdul Qohar menjelaskan, dalam kasus suap hakim tersebut, Syafei berperan sebagai orang yang menyediakan uang suap. Hal ini berawal ketika tersangka WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bertemu dengan tersangka AR (Ariyanto) selaku advokat atau penasihat korporasi dalam kasus korupsi CPO.

“Pada saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng mentah (CPO) harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal. Bahkan, melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar Selasa malam.

Wahyu Gunawan, meski bertugas di PN Jakarta Utara, bisa menjadi makelar kasus ini karena ia orang kepercayaan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat itu menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Hasil pertemuan dengan Wahyu Gunawan tersebut lantas disampaikan oleh Ariyanto kepada tersangka MS (Marcella Santoso) selaku advokat tersangka korporasi. MS lalu menemui Syafei selaku Head Social Security Legal PT Wilmar Group di sebuah rumah makan di Jakarta Selatan.

“Dalam pertemuan tersebut, MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh AR dari WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” kata Qohar.

Menurut Qohar, sekitar dua pekan kemudian, Ariyanto kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan yang menyampaikan agar perkara ini segera diurus. Ariyanto pun menyampaikan kepada Marcella yang kembali menemui Syafei di rumah makan yang sama. 

Dalam pertemuan itu, Syafei menyampaikan bahwa biaya yang disediakan oleh pihak korporasi sebesar Rp 20 miliar. 

Menindaklanjuti hal tersebut, tersangka Arianto, Wahyu Gunawan, dan Muhammad Arif Nuryanta bertemu di sebuah rumah makan di Jakarta Timur. Arif  lalu mengatakan bahwa perkara korupsi CPO tersebut tidak dapat diputus bebas, tetapi bisa diputus lepas (ontslag). Arif pun meminta agar uang Rp 20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga menjadi Rp 60 miliar.

Setelah pertemuan itu, Wahyu Gunawan meminta Ariyanto agar segera menyiapkan uang Rp 60 miliar. Permintaan tersebut diteruskan kepada Marcella yang menyampaikannya kepada Syafei. 

“MS menghubungi MSY dan dalam percakapan itu, MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS ataupun dolar Singapura,” kata Qohar.

Sekitar tiga hari kemudian, Syafei mengatakan bahwa uang yang diminta sudah siap. Ariyanto pun menemui Syafei di sebuah area parkir di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, untuk menerima uang tersebut. Lantas uang diantarkan ke rumah Wahyu Gunawan untuk diserahkan kepada Arif.

Setelah itu, Arif selaku Wakil Ketua PN Jakpus menunjuk majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom untuk menangani kasus tersebut. 

Pada 19 Maret 2025, majelis hakim Pengadilan Tipikor di PN Jakpus memutus ketiga korporasi secara ontslag, membebaskan mereka dari semua tuntutan jaksa.

Sumber: monitor

Komentar