POLHUKAM.ID - Pemerintah dan DPR RI telah menyelesaikan revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) dalam waktu singkat.
Revisi ini dinilai memperkuat Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), tetapi di sisi lain melemahkan peran pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Dampak Revisi UU BUMN
1. Pelemahan Pengawasan BPK
Revisi UU BUMN mengurangi kewenangan BPK dalam mengaudit keuangan BUMN. Audit kini dialihkan ke akuntan publik yang terdaftar di BPK, bukan diperiksa langsung oleh BPK.
Hal ini membuka celah manipulasi laporan keuangan, mengingat BPI Danantara mengelola triliunan rupiah kekayaan negara.
2. Potensi Privatisasi Tidak Transparan
Revisi ini memberi ruang lebih luas bagi privatisasi dengan alasan efisiensi, tetapi tanpa transparansi ketat. Risiko penjualan aset negara dengan harga murah ke pihak tertentu pun meningkat.
Selain itu, keuntungan BUMN berpotensi tidak lagi dianggap sebagai pendapatan negara karena benturan definisi keuangan negara dengan UU lain.
3. Pemisahan Regulator dan Operator
Kementerian BUMN kini hanya berperan sebagai regulator, sementara operasional BUMN dikendalikan oleh BPI Danantara.
Hal ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan tanggung jawab dan melemahkan akuntabilitas karena pengawasan internal menjadi lebih longgar.
4. Perlindungan Berlebih untuk Direksi dan Komisaris
Dengan penerapan business judgment rule, direksi dan komisaris mendapat perlindungan hukum selama keputusan bisnis diambil "dengan itikad baik."
Aturan ini bisa menjadi celah untuk menghindari tanggung jawab atas kebijakan yang merugikan negara.
Pendapat ini disampaikan oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) dalam keterangannya di Bandung, Jumat (21/2/2025).
Peringatan untuk Pemerintah dan DPR
Menurut IAW, DPR dan Pemerintah kurang mencermati dampak negatif revisi UU BUMN, terutama terkait BPI Danantara.
Hal ini perlu menjadi perhatian Presiden Prabowo Subianto agar tidak mempengaruhi kinerja pemerintahannya.
Iskandar Sitorus mengingatkan beberapa risiko yang harus diwaspadai:
a. Penyalahgunaan Uang Negara yang Dipisahkan
Modal awal BPI Danantara berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, tetapi tidak ada jaminan pengelolaannya benar-benar untuk kepentingan negara. Jika investasi gagal atau merugi, negara tetap bisa menanggung akibatnya tanpa kontrol yang kuat.
b. Melemahkan Kontrol Pemerintah atas Aset BUMN
Pengelolaan aset BUMN kini berbasis investasi, sehingga negara kehilangan sebagian kendali langsung atas aset strategis. Keputusan investasi pun berpotensi lebih menguntungkan investor dibanding negara.
c. Risiko Tata Kelola Tidak Transparan
BPI Danantara bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bukan kepada publik atau parlemen. Ini berisiko menciptakan keputusan investasi tanpa pengawasan demokratis, meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
d. Benturan dengan UU Keuangan Negara
Dalam UU Keuangan Negara, kekayaan negara yang dipisahkan tetap dianggap sebagai keuangan negara.
Namun, revisi UU BUMN justru menempatkan modal BUMN sebagai aset korporasi. Hal ini bisa menyulitkan negara dalam menangani aset bermasalah.
Kesimpulan IAW
- Revisi UU BUMN melemahkan negara karena pengawasan terhadap keuangan negara berkurang, sementara privatisasi BUMN semakin mudah dilakukan.
- BPI Danantara menjadi entitas sulit diawasi meskipun mengelola aset negara dalam jumlah besar.
- Konflik antara UU BUMN dan UU Keuangan Negara dapat merugikan kinerja pemerintahan, terutama dalam mendefinisikan kekayaan negara yang dipisahkan.
- Risiko kerugian negara meningkat jika investasi BPI Danantara tidak memiliki mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang lebih kuat dibanding sebelumnya.
“Pemerintah dan DPR seharusnya melakukan kajian lebih dalam sebelum terlambat,” tegas Iskandar Sitorus.
Tanpa mekanisme audit BPK, tidak ada jaminan BPI Danantara bisa lebih profesional dalam menjalankan bisnisnya.
Kasus Internasional Sebagai Pelajaran
Iskandar Sitorus juga mengingatkan bahwa badan hukum swasta berskala global pun tidak lepas dari kasus korupsi dan manipulasi. Ia menyebut beberapa contoh kasus besar:
Innospec Limited (2010-2015) Perusahaan kimia asal Inggris terbukti menyuap pejabat PT Pertamina untuk memenangkan kontrak penjualan bahan tambahan bensin (TEL). Kasus ini ditangani oleh Serious Fraud Office (SFO) Inggris dan KPK.
Alstom dan Marubeni (2004) Perusahaan asal Prancis dan Jepang terlibat penyuapan dalam proyek PLTU Tarahan, Lampung.
Mereka melanggar regulasi anti-penyuapan internasional dan bekerja sama dengan otoritas global dalam penyelesaiannya.
Rolls-Royce (2017) Perusahaan asal Inggris diduga menyuap pejabat PT Garuda Indonesia untuk memenangkan kontrak pengadaan mesin pesawat. Kasus ini ditangani melalui kerja sama antara KPK dan SFO Inggris.
“Jika perusahaan multinasional saja bisa terlibat korupsi, bagaimana dengan BPI Danantara yang tidak diaudit langsung oleh BPK?” tutup Iskandar Sitorus.
Sumber: PorosJakarta
Artikel Terkait
VIRAL Cuplikan Video Lawas Nicholas Saputra Tak Dibantu Aparat, Sindir Oknum Sejak Dulu?
Kapolri Ajak Band Sukatani Jadi Duta Polri: Kami Tak Antikritik!
Pengamat Politik Universitas Esa Unggul: KPK Harus Proses Kasus Dugaan Korupsi Jokowi dan Keluarga, Jangan Dipetieskan!
Pengamat: Megawati Harus Gerak Cepat, Datangi KPK Seret Jokowi dan Keluarganya!