polhukam.id, JAKARTA - Constitutional and Administrative Law Society (CALS), kelompok pembelajar dan pegiat hukum tata negara, mengkritik pernyataan kontroversial Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membolehkan presiden dan menteri berkampanye serta memihak dalam Pemilu.
Dalam kritiknya, CALS, diwakili oleh akademisi UGM Dr Yance Arizona, Peneliti PUSaKO Unand Beni Kurnia Ilahi, dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, menilai ada kelemahan dalam pasal yang dijadikan acuan presiden berkampanye.
Bivitri, Pakar Hukum Tata Negara, menegaskan bahwa pernyataan Jokowi bertentangan dengan komitmen netralitas yang sebelumnya diungkapkan oleh presiden dan jajarannya. Terutama mengingat partisipasi putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Baca Juga: Timnas Indonesia Mencetak Sejarah di Piala Asia 2023 Setelah Lolos ke Babak 16 Besar
"Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum. Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden," kata Bivitri, dalam keterangannya dikutip, Kamis (25/1/2024).
CALS secara tegas mendukung larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum, mengingatkan akan dampaknya terhadap keadilan Pemilu.
Bivitri menekankan bahwa pejabat negara (presiden, menteri, kepala-kepala daerah) yang aktif berkampanye dapat memengaruhi netralitas birokrasi dan memanipulasi arah pilihan pemilih, melanggar prinsip keadilan dalam pemilu kita berasaskan Luber dan Jurdil (Langsung Umum Bebas dan Rahasia, Jujur dan Adil). sebagaimana diamanatkan Pasal 22E UUD 1945.
Sebab, ia mengatakan, pejabat negara akan bisa mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal, yakni fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat serta pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih.
Pakar Hukum Tata Negara tersebut menyoroti potensi pelanggaran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum akibat keberpihakan presiden dan pejabat negara.
Ia menyatakan bahwa perlu dibedakan antara 'berpolitik' dan 'berkampanye.
"Presiden berhak berpolitik, namun tidak seharusnya berkampanye," ujarnya.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: porosjakarta.com
Artikel Terkait
WNA Jerman Kuasai 34 Sertifikat Tanah di Bali, Sudah Jadi Tersangka!
KPK Ungkap Bank Indonesia Terlibat Korupsi Triliunan Rupiah, Disalurkan ke Seluruh Anggota Komisi XI DPR RI
Bareskrim Polri Tetapkan Eks Pegawai BPOM sebagai Tersangka Kasus Pemerasan dan Gratifikasi
NCW Ungkap Cak Imin Bawa Istri Sejak Timwas Haji 2022