Sejumlah Akademisi dari Berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia Uji Examinasi Putusan MK 90

- Senin, 22 Januari 2024 | 07:30 WIB
Sejumlah Akademisi  dari Berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia  Uji Examinasi Putusan MK 90

YOGYAKARTA,polhukam.id- Sejumlah akademisi universitas dari berbagai daerah menghadiri forum bertajuk Uji Examinasi Putusan MK nomor 90/2023, di Yogyakarta Sabtu (20/1/2024). Mereka membahas satu per satu potensi kecurangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90.

"Forum ini menjadi ruang pemerhati hukum tata negara dan administrasi negara, yang masih gelisah tentang putusan MK nomor 90 itu sehingga ingin membahasnya dari kajian akademik," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Nindyo Pramono.

Nidyo mengatakan putusan kontroversial MK itu menyatakan batas usia capres dan cawapres adalah sekurang-kurangnya berusia 40 tahun. Atau yang berusia dibawah itu sepanjang telah berpengalaman menjadi pejabat negara dan/atau kepala daerah yang didapatkan melalui proses Pemilu atau Pilkada.

" Kalangan akademisi di forum ini menghargai adanya doktrin yang menyebut apapun putusan hakim harus dianggap benar. Namun dari kacamata akademis, bisa jadi putusan MK yang sudah inkrah itu juga salah.  Hal ini berangkat dari premis bahwa hakim juga manusia. Sehingga bisa juga saat mengambil keputusan melakukan kesalahan uji examinasi ini untuk membedah putusan MK nomor 90 itu, dari proses sampai dasar pertimbangannya sebagai edukasi publik," terang Nindyo..

Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Dian Agung Wicaksono yang juga turur hadir dalam forum tersebut menilai putusan MK itu hanya bisa diberlakukan pada pemilu 2029 mendatang.


" Hal ini dikarenakan keputusan ini diambil saat tahapan pemilu sudah berjalan," ujarnya.

Lebih lanjut Dian menambahkan ada tiga lembaga negara yang berwenang mengintepretasikan dan meluruskan pemaknaan putusan MK nomor 90 itu.  Yakni Komisi Pemilihan Umum atau KPU, Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu, dan MK itu sendiri. 

" MK dalam menguji UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu),  seharusnya menerapkan prinsip Purcell Principle.  Yakni doktrin bahwa pengadilan tidak boleh mengubah aturan pemilu terlalu dekat dengan pemilu, karena berisiko menimbulkan kebingungan," ujarnya.


"Sehingga putusan MK tersebut hanya dapat diberlakukan pada Pemilu 2029, kecuali putusan itu berorientasi penyelamatan suara pemilih," imbuhnya.


Apabila perubahan aturan pemilu terjadi ketika tahapan pemilu sudah dimulai, menurutnya ini akan membuat penyelenggara pemilu susah payah menyesuaikan aturan main berdasarkan putusan pengadilan tersebut. Sementara KPU menurutnya juga memiliki peluang untuk menganulir pendaftaran pasangan capres-cawapres yang tidak sesuai dengan pemaknaan putusan MK tersebut saat tahapan verifikasi bakal pasangan calon.

" Peluang ini dimungkinkan yakni berpegang pada pasal 230-232 UU 17/2017 tentang Pemilu. Namun, peluang ini sudah terlewat dari tahapan Pemilu saat ini. Meski punya kewenangan itu, kami sangsi jika KPU berani untuk menggunakan penafsiran putusan tersebut untuk menilai. Apakah capres-cawapres yang diusulkan oleh partai politik memenuhi kualifikasi dalam putusan MK itu. Karena faktanya KPU hanya mengikuti pendapat mainstream bahwa putusan MK memang memperbolehkan kepala daerah usia di bawah 40 tahun atau sepanjang pernah atau sedang menjabat dapat diusulkan sebagai capres-cawapres," pungkasnya. ( Sts)

Artikel ini telah lebih dulu tayang di: cakrawala.co

Komentar